InfoMalangRaya.com—Seorang siswa SMP di Kota Batu (Jatim) tewas karena dianiaya oleh teman sekelasnya, Jumat (31/05/2024). Pelaku merasa jengkel karena korban dinilai enggan membantu pengerjaan tugas sekolah.
Beberapa hari sebelumnya, mencuat pula di pemberitaan media massa tentang seorang siswi SMP di Bogor (Jabar) yang mengalami bullying (perundungan). Pelakunya diduga sesama murid SMP dari sekolah lain, diduga dipicu persoalan pacaran.
Kejadian serupa banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Sebagai gambaran, di Sumedang (Jabar) saja, selama kurun waktu tahun ajaran 2023/2024, hingga Mei 2024 tercatat ada 56 kasus perundungan di tingkat pelajar. Demikian data yang dihimpun oleh Dinas Pendidikan setempat (Detik.com, 01/06/2024).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada sekitar 3.000 kasus perundungan di Indonesia sepanjang tahun 2023. Hampir separuhnya terjadi di lembaga pendidikan, termasuk di pesantren.
Mengapa perundungan anak semakin marak? Apa yang semestinya dilakukan oleh orangtua, guru, sekolah, hingga aparat keamanan?
Penyebab Perundungan
Dosen Psikologi dari Universitas Brawijaya, Ilhamuddin Nukman, mengungkap beberapa penyebab terjadinya perundungan, utamanya di kalangan anak-anak.
“Bullying disebabkan karena adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara pelaku dan korban. Pelaku merasa memiliki kuasa (apapun bentuknya), bisa berupa senioritas, kekuatan finansial, kekuatan politis, kekuatan relasi, dan sebagainya,” kata Ilham –panggilan akrabnya—kepada hidayatullah.com.
“Jika perasaan kuasa ini tidak dibatasi, maka mereka akan berasumsi tidak memiliki hambatan untuk melakukan bullying. Apalagi jika ada pembiaran dari orang-orang yang seharusnya mengawasi para pelaku maupun korban. Misalnya orangtua malah melindungi atau membenarkan perilaku kekerasan anaknya, hanya menganggap itu sebagai kenakan anak-anak saja. Pihak sekolah tidak tegas dalam mendisiplinkan atau menghukum pelaku. Masyarakat ada kecenderungan mengafirmasi perilaku bullying, dan malah menyalahkan korban. Sedangkan secara hukum, kurang cepatnya penanganan kasus bullying,” jelas Ketua Asosiasi Psikologi Islam Jawa Timur ini.
Jika Anak jadi Korban
Karena begitu maraknya, bisa jadi anak-anak kita juga mengalaminya. Jika demikian, maka Ilham menganjurkan harus ada tindakan korektif, bukan lagi preventif (pencegahan).
Yang pertama harus dilakukan, “Orangtua atau guru harus bisa mengidentifikasi ciri-ciri fisik dan mental yang dialami korban. Jika ada perubahaan yang signifikan, maka harus segera ditangani, ditanya, dan dikonirmasi situasinya,” pria kelahiran Bima (NTB) ini menjelaskan.
Ada beberapa ciri yang bisa dikenali, antara lain: Perasaan takut yang berlebihan yang tidak pernah dialami sebelumnya, menarik diri dari pergaulan dengan teman-temannya, murung, dan emosional.
Selanjutnya, perlu diidentifikasi sejauh mana efek psikologisnya, seberapa berat tekanan yang dialami, seberapa komplikasi hambatan psikologisnya, apakah korban menimbulkan gejala traumatis atau tidak, dan hal lainnya.
“Jika ada hal tersebut dan terkonfirmasi, maka si anak berarti menjadi korban bullying. Orangtua dan sekolah harus segera bergerak cepat untuk melindungi korban, juga mendalami motif pelaku.”
Tindakan untuk Pelaku
Perlu ada tindakan pula terhadap pelaku perundungan. Jika diperlukan, orangtua atau pihak sekolah bisa meminta bantuan aparat keamanan atau kepolisian.
“Pelaku yang merasakan kepuasan dengan melakukan bullying, maka harus dihukum agar jera dan tidak melakukan kekerasan kembali. Hukumannya harus lebih berat daripada rasa puas yang ia miliki,” kata Ilham yang juga konselor psikologi ini.
Meskipun menurut undang-undang pelaku masih dianggap di bawah umur, Ilham menganjurkan tidak cukup hanya dengan bimbingan. Tetap harus diberi hukuman.
“Saya menganjurkan agar pelaku kekerasan, yang dalam undang-undang disebut di bawah umur, harus diberikan hukuman dan bimbingan. Bukan hanya bimbingan saja,” ujar alumnus Pesantren Tebuireng Jombang ini.
Selain itu, orangtua, sekolah, lembaga pendidikan, masyarakat, juga media massa harus secara terus-menerus mengingatkan anak-anak agar menghindarkan diri dari perilaku kekerasan dan menjaga diri dari potensi menjadi korban.*/Pambudi
Anak Terindikasi Jadi Korban atau Pelaku Bullying? Begini Saran Ahli Psikologi
