InfoMalangRaya.com—Lebih dari 1.000 anggota industri fesyen dunia cemas meningkatnya gerakan anti-Yahudi sejak agresi Zionis ‘Israel’ dan pembantaianya ke Gaza, 7 Oktober 2023, dan penunjukkan model asal ‘Israel’ May Tager yang menggantikan Bella Hadid sebagai bintang iklan Dior.
Pertarungan untuk mendapatkan opini publik dalam serangan dan agresi ‘Israel’ di Gaza, Palestina telah meluas ke industri fesyen. Menyusul kampanye dipimpin oleh influencer Yahudi dan ‘Israel’, desainer Dorit Bar Or dipekerjakan kembali di platform online mewah MyTheresa dan platform lainnya setelah dihapus karena adanya tuntutan dari influencer pro-Palestina.
Sementara itu, lebih dari 1.000 pelaku industri fesyen, termasuk desainer, influencer, model, dan eksekutif ritel, menerbitkan surat yang menyerukan industri tersebut tidak digunakan memerangi meningkatnya anti-Yahudi.
“Industri kreatif harus bebas dengan segala cara. Bebas dari perkataan yang mendorong kebencian. Dari segala upaya untuk mempengaruhi kejahatan; dari segala alasan untuk mendorong pemikiran jahat dengan berbisik atau berteriak. Ada tidak ada alasan,” kata jurnalis fesyen veteran Suzy Menkes, yang ikut tanda tangan.
Penandatangan lainnya termasuk editor fesyen Prancis Carine Roitfeld, desainer Donna Karan, Nicky Hilton, dan Christopher Kane, maestro kecantikan Bobbi Brown, CEO British Fashion Council Caroline Rush, model, dan jurnalis dari Vogue, the Times, dan Telegraph.
“Fashion selalu menjadi platform yang kuat untuk ekspresi diri, inklusivitas, dan perayaan keragaman budaya. Sungguh menyedihkan bagi kita untuk menyaksikan begitu banyak contoh, di mana industri kita terus memungkinkan tindakan diskriminasi dan kebencian. Gerakan anti-Yahudi, dalam dalam bentuk apa pun, tidak mendapat tempat di masyarakat kita, apalagi di industri yang membanggakan kreativitas dan penerimaannya,” begitu katanya merasa khawatir.
“Kita harus mulai dengan mengakui adanya gerakan anti-Yahudi dan memahami dampaknya terhadap individu dan komunitas. Pendidikan dan kesadaran adalah kunci dalam menumbuhkan lingkungan yang inklusif dan saling menghormati,” tambahnya.
Ia berharap perusahaan dan organisasi fesyen harus menerapkan pelatihan keberagaman dan sensitivitas wajib secara berkala bagi semua karyawan, mulai dari desainer hingga eksekutif, untuk memastikan pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai budaya dan agama, termasuk Yudaisme.
Selain itu, transparansi sangat penting dalam memerangi gerakan anti-Yahudi dan segala bentuk rasisme,” tulis surat itu.
Pada saat yang sama, beberapa kampanye internasional yang dipimpin oleh model ‘Israel’ telah diluncurkan. Yang paling menonjol adalah model ‘Israel’ May Tager yang dipilih oleh rumah mode Dior untuk kampanye iklan Natalnya setelah mengganti Bella Hadid, duta merek lama Dior yang keras membela kemerdekaan dan hak Palestina.
Dior belum merilis pernyataan resmi mengenai perubahan tersebut dan dilakukan sebelum 7 Oktober. Meski demikian, pemilihan Tager dipandang sebagai bentuk dukungan terhadap penjajah sehingga memicu kemarahan di media sosial.
Akibatnya, Dior banyak diserbu pembela Palestina seluruh dunia. Sebuah tagar baru menyerukan boikot terhadap Dior, dan akun Instagram Tager, yang memiliki 72.000 pengikut, dibanjiri ribuan komentar yang menampilkan bendera Palestina.
Komentar serupa juga muncul di akun Instagram Dior Beauty yang memiliki 12,3 juta pengikut. Bahkan ada yang menyerukan boikot terhadap seluruh merek LVMH, termasuk Dior.
Perancang terkenal dan mantan direktur kreatif Celine, Phoebe Philo, meluncurkan merek barunya juga di bawah LVMH, dengan model ‘Israel’ Sharon Genish dipilih untuk memimpin kampanye peluncuran merek tersebut.
Selain itu, model Sun Mizrahi muncul di sampul Harper’s Bazaar Italia bulan November dan dalam kampanye iklan musim dingin untuk merek mewah Italia Bottega Veneta.
Sementara itu, New York Times menyoroti kebangkitan kaffiyeh Palestina di tengah meluasnya protes global yang mendukung Palestina dan hak terbebasnya penjajahan ‘Israel’.
Hirbawi, produsen kaffiyeh yang sudah lama beroperasi di Tepi Barat, menjual lebih dari 18.000 kaffiyeh hanya di bulan Oktober, diakuai sebuah “permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.” Rupanya perang juga merambah kemana-mana.
Ted Swedenburg, seorang profesor antropologi di Universitas Arkansas, telah mempelajari kaffiyeh selama 40 tahun, dan mengatakan bahwa kaffiyeh “adalah sarana untuk mengekspresikan dukungan terhadap hak hidup masyarakat.”*
Leave a Comment
Leave a Comment