Iran juga menggunakan aspek Syiah untuk mencapai tujuan-tujuan mereka, namun juga tidak konsisten jika hal itu tidak sesuai kepentingan dalam negerinya
Oleh: Ali Mustofa Akbar
InfoMalangRaya.com | PENGAMAT politik Timur Tengah Shaikh As’ad Manshur mengatakan Kebijakan politik luar negeri suatu negara, tergantung landasan apa yang menjadi dasar kebijakan tersebut, tujuannya, dan keterkaitannya.
Semua tindakan dan keputusan yang diambil terkait kebijakan ini didasarkan pada prinsip-prinsip tersebut.
Tanpa pemahaman ini, seseorang akan mudah terombang-ambing oleh perubahan situasi, kebingungan oleh kontradiksi, dan pandangannya akan menjadi dangkal, hanya berfokus pada permukaan peristiwa tanpa mampu menghubungkannya dengan landasan yang lebih mendalam.
Indonesia misalnya mengambil politik bebas aktif serta menjadi keanggotaan PBB, ASEAN, OKI, maka kebijakan politik luar negerinya harus mengikuti rumusan politik lembaga-lembaga tersebut.
Pun ketika berbicara tentang Iran, Iran sebagaimana negara lain mengadopsi sistem nation state. Negara ini menjalankan kebijakan luar negerinya berdasarkan sistem internasional yang ada.
Iran adalah anggota organisasi-organisasi internasional dan regional yang didasarkan pada sistem kapitalis, seperti keanggotaan di PBB, BRICS, dan Organisasi kerja sama Shanghai.
Hubungan internasionalnya tidak didasarkan pada prinsip-prinsip Islam, tetapi bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional dan tujuan-tujuan berbangsa dan bernegaranya.
Iran juga menggunakan aspek Syiah untuk mencapai tujuan-tujuan mereka, namun juga tidak konsisten jika hal itu tidak sesuai kepentingan dalam negerinya. Buktinya adalah hubungannya dengan Azerbaijan, di mana mayoritas penduduknya adalah penganut Syiah.
Iran tidak membela Azerbaijan pada tahun 1989 ketika mereka bangkit melawan Rusia, karena bertentangan dengan kepentingannya.
Iran juga tidak membantu Azerbaijan melawan Armenia yang menduduki 20% wilayahnya pada tahun 1993, dan tidak mendukung mereka ketika mereka mulai merebut kembali wilayah-wilayah mereka sejak tahun 2020.
Sebagaimana kata Khomaini, Pendiri Republik Iran, telah menyatakan kesediaannya untuk berkooperasi dengan Amerika Serikat selama tidak mencampuri urusan dalam negrinya, katanya. Hal ini juga diungkapkan oleh mantan Presiden Iran, Bani Sadr.
Badan intelijen Amerika juga mempublikasikan surat Khomeini kepada mantan Presiden AS Jimmy Carter terkait hal ini. Mantan Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, serta Mohammad Abtahi, mantan Wakil Presiden Iran di bawah Mohammad Khatami, mengungkapkan adanya kerja sama Iran dengan Amerika dalam pendudukan Afghanistan.
Termasuk Iraq, Suriah, Iran mendukung Sekutu Amerika, Bashar Assad. Sementara kebijakan terkait Palestina, Khamaeni, mengumumkan kebijakan terkait Palestina, yakni mendukung diadakannya referendum di antara penduduk Muslim, Nasrani, dan Yahudi untuk menentukan sistem pemerintahan bersama.
Artinya Iran berkomitmen mengakui keberadaan penjarah Yahudi dan menjaga stabilitas di sana. Maka ketika kita menengok track record kebijakan Iran, saat Iran ingin merespons pembunuhan beberapa komandan Pasukan Pengawal Revolusi Iran di Damaskus.
Mantan Menteri Luar Negeri Iran, Abdullahian, mengumumkan bahwa mereka sedang berkomunikasi dengan Amerika di Oman untuk membahas bagaimana Iran akan merespons.
Tanggapan Iran datang dengan meluncurkan 332 roket, yang tampaknya telah disepakati untuk dijatuhkan sebelum mencapai wilayah ‘Israel’, karena serangan itu hanya untuk menjaga citra Iran dan tidak serius.
Kemudian saat Ismail Haniyah, Pimpinan Hamas dibunuh (insyaAllah Sahid) di Teheran, Iran mengumumkan akan merespons, namun Amerika meminta Iran untuk menunggu hingga inisiatif gencatan senjata yang diprakarsai oleh Amerika, Mesir, dan Qatar memberikan hasil di Gaza, dan Iran diminta agar tidak menggagalkan negosiasi tersebut.
Iran kemudian mengumumkan bahwa mereka akan menunggu dengan alasan taktis dan strategis.
Walhasil penjajah ‘Israel’ semakin bernafsu untuk menyerang Hizbullah di Lebanon dan membunuh pemimpin serta sejumlah komandan utamanya, serta melukai ribuan anggotanya melalui serangan pager dan serangan udara.
‘Israel’ juga mengumumkan niatnya untuk melakukan invasi darat ke Lebanon, meskipun Amerika menolak hal ini. Namun Perdana Menteri ‘Israel’, Netanyahu, menyatakan akan membentuk Timur Tengah yang baru.
Hal ini melampaui apa yang diinginkan Amerika dari ‘Israel’, yaitu untuk tetap menjadi alatnya di kawasan ini guna memperkuat pengaruhnya dan mencegah kebangkitan umat serta pendirian kekhalifahan.
Reputasi Iran telah jatuh telah anjlok khususnya di mata regional mereka, dan mendorong pergerakan oposisi lebih berkembang mendesak turunnya rezim Iran. Ditambah kekuatan Inggris, terus bekerja di dalam Iran.
Pada saat itu, Iran menembakkan 200 roket dan mengumumkan bahwa serangan tersebut sudah cukup dengan alasan ingin menjaga stabilitas. Amerika Serikat kemudian berupaya untuk menjaga reputasi rezim Iran dan membatasi arogansi Netanyahu serta pasukannya.
Mereka juga terlena dengan dukungan mutlak Amerika, terlepas dari kekejaman apa pun yang dilakukan, bahkan setelah menggagalkan semua upaya politik Amerika untuk menghentikan tembakan di Gaza dan menerapkan solusi dua negara.
‘Israel’ kemudian mengalihkan serangannya ke Lebanon dan mengancam akan menginvasi. ‘Israel’ juga mengumumkan bahwa beberapa fasilitasnya rusak akibat serangan dari Lebanon dan menyatakan akan merespons.
Amerika Serikat sendiri terus berupaya untuk mencegah ‘Israel’ menyerang fasilitas nuklir dan minyak Iran. Jika penjajah ‘Israel’ melakukan ini, maka Iran dipaksa untuk merespons dengan tindakan setimpal, atau jika tidak, mereka akan menghadapi risiko di tingkat regional dan domestik. Implikasnya Amerika juga akan mengalami kerugian besar di Iran.
Satu sisi, Amerika tidak dapat mengambil keputusan tegas untuk menekan ‘Israel’ karena Pemilu sudah dekat; Demokrat tidak ingin kalah, sementara Republik berlomba memberikan dukungan tanpa batas kepada ‘Israel’ dan agresinya.
Amerika Serikat sedang mengalami dilema besar, karena ‘Israel’ tidak mematuhi arahannya dan dianggap lemah sebagai polisi dunia disaat yang sama juga terus untuk menjaga eksistensi ‘Israel’.
Sementara itu, negara-negara Eropa tidak mampu melakukan apa pun, terus mengejar Amerika, meskipun mereka tidak akan meninggalkan dukungan mereka terhadap Zionis ‘Israel’ karena negara itu adalah ciptaan mereka.
Lembaga-lembaga Barat, yang disebut sebagai lembaga internasional seperti Pengadilan Keadilan Internasional, Pengadilan Pidana Internasional, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tidak berniat memaksa ‘Israel’ untuk mematuhi keputusan mereka, yang membuat mereka terjebak dalam kontradiksi.
Jika Amerika dan Eropa benar-benar ingin memaksa ‘Israel’ mematuhi keputusan mereka dan menekan ‘Israel’ dengan serius, ‘Israel’ pasti akan tunduk, karena mereka adalah sumber kehidupan ‘Israel’. Namun, mereka lebih memilih penjajah untuk mematuhi secara sukarela, yang justru membuat ‘Israel’ semakin berani dalam kejahatannya.
Iran mulai mencari cara untuk menghentikan tembakan di Lebanon, karena tidak memiliki keinginan untuk berperang dengan ‘Israel’ seperti yang dilakukannya di Suriah. Iran juga tidak memiliki tujuan untuk membebaskan Palestina.
Oleh karena itu, Menteri Luar Negeri Iran, Araghchi, datang ke Beirut dan Damaskus untuk membahas hal tersebut.
Begitulah topeng Iran yang terbuka, seperti halnya topeng yang telah jatuh dari wajah para penguasa di negri-negri muslim lainnya. Maka sudah selayaknya umat rindu kembalinya institusi khilafah penegak syariah yang memiliki kebijakan politik jelas termasuk membebaskan Palestina dari tangan penjajah Zionis. Wallahu A’lam.*
Pemerhati politik
Leave a Comment
Leave a Comment