Pemangku Kepentingan Mengajukan Uji Materi terhadap UU Kesehatan
Seorang akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (FK Unsoed) di Purwokerto, M Mukhlis Rudi Prihatno, telah mengajukan permohonan uji materi terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Ia bersama seorang dokter spesialis dan dua mahasiswa kedokteran menilai bahwa uji materi ini penting untuk menjaga kepastian hukum dan masa depan pendidikan kedokteran di Indonesia.
Dalam wawancara yang dilakukan di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rudi mengatakan bahwa undang-undang tersebut tidak buruk secara keseluruhan. Namun, ia menyoroti adanya perbedaan dalam pengaturan pendidikan. Menurutnya, ada tiga undang-undang yang mengatur pendidikan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Guru dan Dosen, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, serta UU Pendidikan Tinggi. Sebelumnya, ada UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang kini dicabut dan digantikan oleh UU Kesehatan, sehingga muncul berbagai permasalahan.
Ia menjelaskan bahwa aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan guru besar dari berbagai perguruan tinggi merupakan salah satu dampak dari ketiadaan UU Pendidikan Kedokteran. Selama 50 tahun, pendidikan kedokteran berjalan lancar dengan adanya undang-undang tersebut. Bahkan, selama ini pendidikan kedokteran di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi berjalan baik.
Namun, dengan adanya UU Kesehatan, muncul masalah baru terkait sistem hospital-based (berbasis rumah sakit) dan university-based (berbasis perguruan tinggi), khususnya dalam pendidikan spesialis. Rudi menilai bahwa pendidikan kedokteran seharusnya dikembalikan ke kementerian yang membidangi pendidikan, bukan Kementerian Kesehatan. Ia menyatakan bahwa sesuai ketentuan UU Pendidikan Tinggi, perguruan tinggi berhak memberikan gelar akademik.
Menurutnya, rumah sakit sebagai entitas pelayanan kesehatan belum tentu mampu memenuhi kewajiban tridharma perguruan tinggi, termasuk pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu, aspek penjaminan mutu dan kurikulum seharusnya tetap menjadi domain perguruan tinggi.
Rudi juga mengkritik penerapan sistem hospital-based karena berpotensi menimbulkan masalah kuota pendidikan. Contohnya, kondisi di Jakarta dan Bandung, di mana rumah sakit yang sama digunakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran. Ia menilai bahwa kuota mahasiswa justru berkurang dari universitas dan dialihkan ke hospital-based. Padahal, jika tujuannya adalah menambah tenaga dokter spesialis, jumlahnya seharusnya bertambah, bukan bergeser.
Selain itu, Rudi menyoroti lemahnya landasan hukum penyelenggaraan pendidikan dokter dalam UU Kesehatan karena tidak merujuk pada Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945 yang mengatur satu sistem pendidikan nasional.
Sementara itu, anggota tim kuasa hukum pemohon, Azam Prasojo Kadar, mengatakan bahwa permohonan uji materi Pasal 187 Ayat (4) dan Pasal 209 Ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2025. Ia berharap Mahkamah Konstitusi segera menggelar sidang agar konflik dualisme antara pendidikan berbasis universitas dan berbasis rumah sakit dapat diselesaikan.
Azam menegaskan bahwa Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional masih berlaku, sehingga pendidikan dokter seharusnya tetap berada di ranah pendidikan tinggi. Ia menilai bahwa payung hukum rumah sakit pendidikan sebagai penyelenggara utama cacat hukum dan tidak sesuai dengan Pasal 31 ayat 3 UUD 1945.
Menurut Azam, dualisme penyelenggaraan pendidikan kedokteran berpotensi menimbulkan konflik kepentingan sekaligus ketidakpastian hukum jika tidak segera dikembalikan ke sistem pendidikan tinggi. “Kami berharap Mahkamah Konstitusi dapat mengembalikan marwah pendidikan kedokteran pada jalur yang benar, yaitu berada di bawah Kementerian Pendidikan,” katanya.







