Masjid Agung Memelihara Tradisi Keraton dan Budaya Kearifan Lokal

redaksi 301 Views
4 Min Read
Foto: Masjid Agung Surakarta tetap berdiri kokoh meskipun berusia 259 Tahun

Sesuatu yang sangat khas akan kita jumpai saat kita pelesir ke Kota Solo adalah keberadaan bagunan peninggalan Raja Pakubuwono III berupa masjid bergaya tradisional Jawa. Selain memiliki atap bertingkat dan mempunyai mahkota dipuncaknya, masjid ini juga memiliki gapura utama yang sangat kokoh berbentuk paduraksa (padu: tepi, raksa: pelindung). Masjid yang memiliki arsitektur kuno ini bernama Masjid Agung Surakarta. Masjid ini mempunyai halaman yang luas dan sejuk karena terdapat beberapa pohon rindang yang tumbuh di sekitar pelataran. Dengan luas tanahnya yang hampir 1 hektar area masjid ini mampu menampung jamaah sebanyak 2000 orang.

Masjid yang dibangun pada tahun 1763 ini memiliki 3 pintu masuk dengan gapura utama di sisi timur, dan pintu lainnya berada di sisi selatan dan utara. Menurut sekretaris Masjid Agung Surakarta, Ir. H. Abdul Basid Rohmat mengatakan bahwa masjid yang berusia kurang lebih 259 tahun itu hingga kini, masih menjadi pusat kegiatan tradisi budaya Jawa dan Islam seperti kegiatan sekaten, bancak’an, kenduren dan lain-lain. “Masjid Agung ini tetap memelihara budaya Jawa, masih ada kegiatan bersifat tradisional yang merupakan akulturasi dengan tradisi islam yang kami selenggarakan, seperti contohnya budaya sekaten. Sekaten sendiri merupakan peringatan Maulid Nabi Muhammad yang dilaksanakan satu tahun sekali oleh Keraton Surakarta. Tujuan dari sekaten itu sendiri adalah untuk syiar islam, melalui sholawat dan juga sedekah.”, jelas Basid.

Ir. H. Abdul Basid Rohmat Salah Pengurus Masjid Agung Surakarta

Basid yang ditemui usai melaksanakan sholat Dzuhur di Masjid Agung pada hari Sabtu 10/12/2022 itu juga menerangkan bahwa, acara sekaten itu dilakukan dengan cara membunyikan gamelan yang diarak ke Masjid Agung. Penggunaan kesenian gamelan ini sebagai sarana atau metode penyebaran agama Islam yang sangat digemari terutama di Jawa Tengah sehingga dipertahankan hingga saat ini. Gamelan yang diarak ke masjid tadi akan dikembalikan ke Keraton sebagai tanda bahwa Sekaten telah usai. Menurut Basid, Sekaten ini merupakan peringatan Maulid Nabi khas Kota Solo (Surakarta) yang kelestariannya masih terjaga sehingga masyarakat yang hadir dalam acara tersebut secara tidak langsung menjadi bagian dari syiar Islam yang dilakukan oleh Keraton dan Masjid Agung.

Basid menegaskan bahwa ada makna-makna filosofis yang terkandung dalam akulturasi budaya Jawa dan tradisi Islam di Surakarta ini. “Sekaten itu perpaduan antara kesenian dan dakwah. Dalam bunyi-bunyiannya diciptakan langgam-langgam Jawa yang berisi ajaran Islam sebagai sarana penyebaran agama. Hal ini tentunya korelasi dari upaya Masjid Agung untuk berperan dalam memelihara budaya Jawa dan tradisi Islam agar tetap bisa berjalan beriringan guna mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin.”, tutur Basid.
Surakarta merupakan salah satu wilayah di Jawa Tengah dikenal memiliki banyak tradisi yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebudayaan yang beragam, adat istiadat, kebiasaan sehari-hari hingga aktifitas keagamaan. Tradisi akan terus terawat jika masyarakat terus melestarikannya. Namun jika hal tersebut tidak dilakukan, maka tradisi tersebut akan tergerus dengan budaya-budaya asing dan menghilang dengan sendirinya.

Pewarta : Rudi Harianto
Penulis : Dyah Arum Sari

Share This Article
Leave a comment

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Exit mobile version