Industri batik di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sedang memperluas target pasar mereka, khususnya untuk menarik perhatian wisatawan mancanegara. Hal ini dilakukan karena sejauh ini, mayoritas produk batik masih lebih diminati oleh kalangan wisatawan domestik. Namun, pelaku industri batik juga terus mengembangkan karya-karya yang berbahan dasar batik dengan sifat terbatas dan cocok untuk segmen menengah atas serta wisatawan internasional.
Yunet Wahyuningsih, salah satu pelaku industri batik di Yogyakarta, menyampaikan bahwa selama ini produk batik lebih banyak terserap di kalangan wisatawan lokal. Ia menjelaskan bahwa kebanyakan orang mencari produk batik di pusat oleh-oleh dengan harga grosiran, bukan jenis batik fashion yang ready to wear.
“Saat ini produk batik masih banyak terserap oleh wisatawan domestik sehingga yang dicari banyak ke pusat oleh-oleh, yang harganya grosiran-kodian. Bukan jenis batik fashion yang ready to wear,” ujar Yunet dalam acara fashion show koleksi batiknya di forum 3rd International Conference on Islamic and Halal Economic Studies (ICIHES) 2025 di Yogyakarta, Selasa 4 November 2025.
Dalam forum yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM bersama beberapa kampus dari Jepang dan Malaysia, Yunet berharap pangsa pasar batik bisa semakin luas. Ia menilai bahwa batik sebagai bagian dari industri fashion dapat menjangkau berbagai segmen, mulai dari bawah hingga atas. Dengan demikian, karya-karya fashion batik juga terus berkembang sesuai dengan segmen pasar yang dituju.
Salah satu peluang yang saat ini sedang dikembangkan adalah pasar industri halal. Menurut Yunet, industri fashion batik muslim masih memiliki pasar yang terbatas, namun ia berharap dapat diperluas melalui inisiatif seperti mall khusus batik di Yogyakarta. Ia merintis usaha batiknya dengan nama Renjanayu Batik di kawasan Imogiri, Kabupaten Bantul Yogyakarta.
Pasar Batik Wisatawan Mancanegara
Sebagai pelaku fashion batik ready to wear, Yunet mampu memproduksi sekitar 35 karya batik dalam sebulan dengan rentang harga Rp 1–1,5 juta. Pasar batiknya selama ini masih dominan pada wisatawan ASEAN seperti Malaysia dan Singapura, namun belum sampai pada segmen pasar Eropa.
“Untuk menyasar pasar wisatawan Eropa, kita butuh edukasi pasar bahwa produk itu benar-benar handmade dan limited edition. Kami ingin pasar tersebut semakin meluas,” ujarnya.
Namun, menurut Yunet, memperluas pasar tersebut tidak mudah jika dilakukan sendiri oleh pelaku industri batik. Ia menilai bahwa event bertaraf internasional menjadi salah satu jalan untuk membuka pasar baru. Contohnya, ketika koleksi batiknya ditampilkan di hadapan ratusan delegasi mancanegara.
“Dengan adanya event internasional, kita bisa dipertemukan dengan orang yang tak sekadar melancong lalu beli oleh-oleh, tapi yang juga melihat ada jenis fashion batik yang dibuat terbatas,” tambahnya.
Ketua Program Doktor Perekonomian Islam dan Industri Halal Sekolah Pascasarjana UGM, Reni Rosari, menjelaskan bahwa forum internasional ini menjadi ruang komunitas global seperti ilmuwan, pembuat kebijakan, dan industri untuk membahas berbagai isu dan kebijakan praktik ekonomi syariah dan industri halal dunia.
“Event di Yogyakarta ini menjadi event perdana di Indonesia, setelah event pertama dan kedua diselenggarakan di Malaysia,” kata Reni yang juga ketua pelaksana event tersebut.
Menurut Reni, forum ini tidak hanya menjadi ajang pertukaran ilmu pengetahuan, tetapi juga penguatan jejaring untuk pembangunan ekonomi halal yang inklusif. Yang diharapkan bisa membawa industri lokal Yogyakarta berkembang, terutama untuk industri yang menyasar wisatawan mancanegara.
Ekonomi Halal
Rika Fatimah, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Yogyakarta, menjelaskan bahwa saat ini ekonomi halal berkembang sangat pesat di tingkat global. Ia menyebut nilai perdagangan halal dunia mencapai USD 3,1 triliun pada tahun 2018, dan diperkirakan meningkat menjadi USD 5 triliun pada tahun 2030.
Di Indonesia, nilai industri halal tercatat USD 184 miliar pada tahun 2020, dan diproyeksikan menjadi USD 281,6 miliar pada tahun 2025.
“Data ini menunjukkan bahwa ekonomi halal tidak lagi dipandang sebagai isu keagamaan semata, tetapi telah menjadi strategi ekonomi global yang mencakup pariwisata, pangan, farmasi, kosmetik, keuangan, hingga tata kelola rantai pasok global,” ujarnya.
Dalam forum ini, UGM menggandeng Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Kyoto University, dan Ritsumeikan University dari Jepang, serta Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) DIY.







