Kecaman Terhadap Pemberhentian 1.600 Pegawai Honorer di Lombok Barat
Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Bali–Nusra menyampaikan kecaman terhadap kebijakan pemerintah Kabupaten Lombok Barat yang melakukan pemberhentian terhadap sekitar 1.600 pegawai honorer di berbagai instansi daerah. Keputusan ini dilakukan pada Kamis, 30 Oktober 2025, dan menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan.
Ketua Bidang PKC PMII Bali–Nusra, Ahmad Halimi, menegaskan bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk pengabaian terhadap prinsip dasar pemerintahan yang seharusnya berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Ia menilai langkah pemerintah tidak adil, tidak transparan, dan menunjukkan lemahnya sensitivitas sosial terhadap nasib masyarakat kecil.
“Pemerintah seharusnya lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Pemberhentian massal tanpa skema transisi yang jelas hanya menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki rencana matang dalam mengelola sumber daya manusia di daerah,” tambahnya.
Halimi menekankan bahwa reformasi birokrasi seharusnya tidak dimaknai sebagai pemangkasan tenaga kerja secara sepihak, melainkan upaya membangun sistem yang efisien dan adil. “Reformasi bukan berarti memangkas tenaga kerja seenaknya, tapi membangun sistem yang menghargai pengabdian mereka yang telah lama berkontribusi,” tegasnya.
PKC PMII Bali–Nusra menilai kebijakan ini telah menimbulkan luka sosial di tengah masyarakat Lombok Barat. Banyak tenaga honorer merasa diperlakukan tidak adil karena tidak adanya sosialisasi sebelum kebijakan tersebut diberlakukan.
“Ironis sekali. Mereka yang setiap hari bekerja dengan gaji rendah dan fasilitas minim, kini malah diperlakukan seperti beban. Pemerintah seharusnya mengapresiasi pengabdian mereka, bukan justru menghapus mereka dari sistem tanpa solusi,” ungkap Halimi dengan nada kecewa.
Ia menambahkan, keputusan tersebut juga berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan di daerah, terlebih saat masyarakat masih berjuang memulihkan kondisi ekonomi pasca pandemi.
Menurut Halimi, secara normatif pemerintah daerah memang memiliki kewenangan melakukan penataan aparatur, namun kewenangan itu harus dijalankan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. “Kami memahami setiap daerah ingin menata sistem kepegawaian sesuai ketentuan pusat. Tapi menata bukan berarti menyingkirkan. Seharusnya ada solusi yang lebih manusiawi — misalnya pembinaan, pelatihan ulang, atau pengalihan status tenaga honorer menjadi ASN atau PPPK,” tegasnya.
Halimi memperingatkan bahwa pendekatan yang hanya berfokus pada efisiensi tanpa memperhatikan dimensi sosial akan menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Sebagai organisasi mahasiswa Islam, PKC PMII Bali–Nusra menilai kebijakan ini mencerminkan krisis moral dalam pengambilan keputusan publik.
“Kami tidak menolak perubahan. Tapi perubahan harus membawa perbaikan, bukan penderitaan baru. Pemerintah wajib memastikan setiap kebijakan publik berpihak pada rakyat kecil,” tegas Halimi.
Ia juga menegaskan bahwa tenaga honorer bukan sekadar beban anggaran, melainkan wajah nyata dari dedikasi pelayanan publik di tingkat daerah. “Ketika mereka diberhentikan tanpa arah, itu artinya pemerintah memutus mata rantai pengabdian. Ini bukan sekadar soal pekerjaan, tapi soal harga diri dan keadilan,” ucapnya.
Di akhir pernyataannya, Halimi menyerukan agar masyarakat sipil, mahasiswa, dan media turut mengawal kebijakan ini agar tidak menimbulkan ketidakadilan yang lebih luas. “Kritik publik terhadap pemerintah bukan bentuk permusuhan, tapi kepedulian. Pemerintah boleh kuat secara aturan, tapi kekuasaan tanpa empati adalah kekuasaan yang kehilangan arah,” tutup Ahmad Halimi.







