Yogyakarta (IMR) – Rencana pemerintah membangun rumah subsidi seluas 18 meter persegi menuai kontroversi. Namun, menurut pakar arsitektur dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D., rumah mungil ini tetap bisa menjadi hunian layak jika dirancang sebagai rumah tumbuh yang terstruktur dan adaptif terhadap kebutuhan jangka panjang.
“Ukuran 18 meter persegi sebenarnya adalah standar internasional untuk hunian darurat pascabencana. Jadi, kalau mau dijadikan rumah permanen, harus ada perencanaan pengembangannya sejak awal,” ujar Ikaputra di Kampus UGM, Kamis (3/7).
Rumah Darurat Tak Sama dengan Rumah Permanen
Ikaputra menekankan bahwa konteks rumah seluas 18 meter persegi selama ini digunakan untuk situasi darurat, seperti bagi korban bencana alam. Maka dari itu, jika konsep tersebut diadopsi untuk perumahan permanen, pemerintah harus menyiapkan desain yang memungkinkan rumah berkembang secara bertahap seiring kebutuhan penghuninya.
Namun, ia menyoroti tantangan besar terkait luas lahan yang terlalu sempit. Jika rumah dibangun di atas tanah hanya seluas 25 meter persegi, maka ruang yang tersisa untuk pengembangan sangat terbatas.
“Masalah utamanya bukan pada ukuran rumahnya, tapi minimnya luasan tanah. Idealnya, lahan setidaknya 50 meter persegi agar bisa tumbuh dua kali lipat dan tetap menyediakan ruang terbuka hijau,” jelasnya.
Solusi Alternatif: Rumah Susun yang Terhubung Transportasi Publik
Selain rumah tumbuh horizontal, Ikaputra juga menyarankan pembangunan rumah susun sewa (rusunawa), khususnya di daerah dengan harga tanah tinggi. Ia menilai, rusun bisa menjadi solusi efisien selama ditunjang akses transportasi umum yang mudah dan terjangkau.
“Kalau dibangun di pinggiran kota, maka akses ke tempat kerja harus dipastikan mudah. Harus ada stasiun atau transportasi murah di dekatnya agar efisien dan tidak membebani penghuni,” tambahnya.
Perencanaan Harus Komprehensif Sejak Awal
Ikaputra mengingatkan bahwa pembangunan rumah tak hanya soal fisik bangunan, tetapi menyangkut kehidupan penghuninya secara menyeluruh. Rancangan arsitektur, kekuatan struktur (terutama tahan gempa), ruang terbuka, drainase, dan potensi pengembangan semua harus dipikirkan sejak awal.
Pengalaman UGM dalam membangun rumah pascabencana di Yogyakarta dan Merapi menunjukkan bahwa konsep rumah tumbuh bisa berhasil jika desainnya matang.
“Yang penting bukan seberapa luas rumah itu, tapi bagaimana rumah tersebut bisa berkembang dan tetap manusiawi. Jangan sampai niat menghadirkan rumah murah justru menciptakan permukiman kumuh yang tidak layak,” tegasnya. [aje]