Mengapa Tidak Semua Saudara Cocok Jadi Karyawan di Bisnis Sendiri
Memulai atau menjalankan bisnis sering kali menimbulkan berbagai pertanyaan dan tantangan. Salah satu hal yang sering muncul adalah keinginan untuk melibatkan anggota keluarga, terutama saudara, dalam operasional bisnis. Alasan utamanya biasanya karena rasa percaya yang lebih besar terhadap orang yang sudah dikenal. Selain itu, ada juga anggapan bahwa melibatkan saudara bisa memperkuat hubungan keluarga sekaligus memberi kesempatan kerja bagi mereka yang membutuhkan.
Namun, kenyataannya tidak selalu sesuai dengan harapan. Bisnis adalah dunia profesional yang penuh aturan, target, dan tanggung jawab. Ketika menggabungkan bisnis dengan hubungan keluarga, ada risiko yang harus dipertimbangkan dengan matang. Terkadang, hal ini justru menyebabkan masalah yang merugikan kedua belah pihak. Berikut beberapa alasan mengapa tidak semua saudara cocok menjadi karyawan di usaha sendiri:
1. Sulit Menjaga Batas Profesional
Bekerja bersama saudara sering kali membuat batas antara urusan keluarga dan pekerjaan menjadi kabur. Misalnya, ketika saudara datang terlambat atau tidak menyelesaikan tugas, kita mungkin merasa sulit untuk menegurnya. Sebagai pemilik bisnis, kita perlu bersikap tegas, tetapi sebagai saudara, emosi dan rasa sungkan sering kali menghalangi.
Masalah ini bisa berdampak pada karyawan lain. Mereka mungkin merasa ada perlakuan istimewa yang tidak mereka dapatkan, sehingga rasa keadilan terganggu dan budaya kerja sehat sulit dibangun. Jika tidak segera diatasi, hal ini bisa menurunkan motivasi seluruh tim.
2. Ekspektasi Kerja yang Berlebihan
Saudara yang bekerja di usaha kita kadang masuk dengan ekspektasi tertentu. Mereka mungkin menganggap akan mendapat perlakuan lebih ringan, jam kerja fleksibel, atau posisi yang lebih tinggi. Namun, ketika kenyataan tidak sesuai, rasa kecewa bisa muncul dan memengaruhi kinerja.
Di sisi lain, kita sebagai pemilik bisnis juga bisa memiliki harapan yang terlalu besar pada saudara. Kita berharap mereka lebih loyal, lebih rajin, atau bahkan rela bekerja lebih keras dibanding karyawan lain. Ketidaksesuaian ekspektasi ini bisa memicu gesekan di kedua belah pihak.
3. Konflik Bisa Masuk ke Urusan Keluarga
Ketika saudara terlibat dalam bisnis, masalah pekerjaan sering kali ikut terbawa ke ranah pribadi. Contohnya, jika ada perselisihan soal gaji, pembagian tugas, atau keputusan tertentu, konflik tersebut bisa merembet hingga ke acara keluarga. Situasi yang seharusnya hangat bisa berubah canggung hanya karena urusan kantor.
Konflik semacam ini lebih sulit diselesaikan. Dengan karyawan biasa, kita bisa bersikap profesional dan objektif, tetapi dengan saudara, emosi sering kali mendominasi. Akibatnya, hubungan kekeluargaan bisa rusak hanya karena persoalan bisnis.
4. Risiko Ketergantungan Terlalu Besar
Banyak pemilik bisnis merasa lebih tenang jika saudaranya ikut membantu, terutama di posisi penting. Namun, kondisi ini bisa membuat bisnis terlalu bergantung pada mereka. Jika suatu saat saudara tersebut berhenti atau terjadi konflik, operasional bisnis bisa terganggu secara signifikan.
Ketergantungan seperti ini sangat berbahaya. Bisnis idealnya bisa berjalan dengan sistem yang kuat, bukan hanya bergantung pada individu tertentu. Jika pondasi bisnis hanya dibangun berdasarkan hubungan keluarga, maka keberlangsungan jangka panjang akan sangat rapuh.
5. Sulit Mengambil Keputusan Secara Tegas
Dalam perjalanan bisnis, ada kalanya pemilik harus membuat keputusan sulit, seperti menegur, memberi sanksi, atau bahkan memberhentikan karyawan. Jika karyawan itu adalah saudara, keputusan ini jadi lebih berat. Ada rasa sungkan, takut menyinggung, atau khawatir merusak hubungan keluarga.
Menunda keputusan tegas karena faktor emosional bisa membuat masalah semakin besar. Bisnis butuh kepemimpinan yang objektif. Jika pemilik terlalu ragu hanya karena ada hubungan darah, bisnis bisa kehilangan arah dan sulit berkembang.







