Mengapa Banyak Orang Tua Tidak Suka Belanja Online
Hampir semua orang memiliki sosok seperti ini dalam hidupnya, baik itu orang tua, bibi, atau tetangga, yang dengan tegas menolak membeli apa pun secara online. Bukan hanya bahan makanan atau sepatu, bahkan satu bola lampu yang sudah mereka cari sejak 1997 pun harus dibeli langsung di toko. Coba tawarkan bantuan, dan mereka mungkin akan menjawab dengan sopan (atau tegas), “Tidak, terima kasih, lebih suka lihat langsung.”
Namun, penolakan ini bukan semata soal teknologi. Ini bukan hanya tentang usia atau akses melainkan tentang kepribadian. Bagi banyak baby boomer, pengalaman belanja fisik bukan sekadar efisiensi. Itu nyata. Itu interaksi. Itu kepercayaan.
Seolah mereka menjalankan sistem operasi yang stabil, teruji waktu, dan tidak tertarik dengan pembaruan mendadak. Berikut tujuh ciri kepribadian inti yang sering muncul pada generasi baby boomer yang memilih tempat parkir daripada ikon keranjang belanja:
Menghargai Kendali Lebih dari Kenyamanan
Masalahnya sering kali bukan pada literasi digital, tapi pada kendali. Mereka ingin menyentuh kain, membaca label kemasan, memeriksa tanggal kedaluwarsa. Bagi mereka, foto produk dan estimasi pengiriman tidak cukup. Bayangkan mencoba memilih alpukat matang lewat pintu kaca yang terkunci, sementara orang lain membelanjakan untukmu. Bagi yang dibesarkan dengan standar kualitas yang tinggi, jarak seperti itu bukan efisiensi melainkan kehilangan kontrol.
Mereka juga menghargai kepastian waktu. Saat masuk ke toko, mereka tahu kapan akan mendapatkan barangnya. Kalau tidak ada, bisa langsung bertanya pada staf. Kejelasan itu lebih penting daripada pengiriman gratis.
Menjadikan Tugas Dunia Nyata Sebagai Rutinitas yang Bermakna
Bagi banyak baby boomer, pergi ke toko bukan sekadar menyelesaikan urusan tapi bagian dari ritme harian. Mengobrol dengan kasir di apotek atau berdiskusi tentang pupuk di toko perkakas memberi rasa keterhubungan. Seperti membuka kotak surat meski tahu isinya kosong—ada kenyamanan dalam ritual tersebut. Belanja online memang cepat, tapi menghapus tekstur dari tugas-tugas kecil itu.
Ketika kehidupan sehari-hari terasa makin terputus, aktivitas fisik seperti ini menjadi jangkar. Koneksi mikro dengan orang-orang sekitar membantu menjaga rasa keterikatan dengan dunia yang nyata, lokal, dan personal.
Memercayai Hubungan yang Terbangun, Bukan Ulasan Digital
Bintang lima di toko online? Bagi banyak boomer, itu masih terasa samar. Mereka lebih percaya toko yang telah mereka kunjungi selama 15 tahun, merek yang dipakai orang tuanya, atau petugas toko yang mengingat nama mereka. Kalimat, “Ini satu-satunya pemanggang roti yang saya pakai sejak 1983,” bisa berarti lebih dari seribu ulasan daring.
Sifat ini sering disalahpahami sebagai keras kepala. Padahal, ini adalah bentuk kesetiaan terhadap keandalan yang sudah terbukti. Di saat generasi muda mengandalkan data dan konsensus publik, boomer tetap berpegang pada pengalaman pribadi dan hubungan manusia.
Mengandalkan Indra untuk Membuat Keputusan
Generasi ini terbiasa mengambil keputusan dengan kelima indranya. Mereka ingin merasakan tekstur denim, mencium wangi lilin, mendengar bunyi klik alat rumah tangga. Tanpa umpan balik sensorik, mereka merasa seperti sedang menebak-nebak dan boomer tidak suka menebak dengan uang mereka.
Mereka ingin menyentuh melon, merasakan berat blender, atau melihat langsung kualitas bahan. Bagi mereka, pembelian adalah pengalaman yang melibatkan banyak indra bukan sekadar klik di layar.
Tumbuh di Era “Kalau Rusak, Ya Diperbaiki”
Boomer dibesarkan dengan pola pikir memperbaiki, bukan mengganti. Mereka mencari barang yang bisa dicek, dinilai, dan dipahami secara langsung. Membeli barang online terasa seperti menyewa mobil bekas tanpa membuka kapnya. Tombol “konfirmasi pembelian” bukanlah kekuatan melainkan ketidakpastian.
Belanja langsung memungkinkan mereka menilai kualitas: apakah ada komponen yang lemah, apakah konstruksinya kokoh, apakah garansinya masuk akal. Detail seperti itu jarang bisa didapat dari halaman produk online.
Bersikap Skeptis pada Sistem yang Tidak Dipahami Secara Langsung
Minta boomer pakai dompet digital? Jawabannya bisa saja, “Saya tidak suka menaruh informasi saya di sana.” Ini bukan sekadar ketakutan, tapi soal prinsip: jika tidak bisa dilihat atau disentuh, apakah itu sungguh nyata? Bagi mereka, belanja online seperti mengirim uang tunai ke orang asing dan berharap barang akan dikirim. Terlalu abstrak.
Mereka telah menyaksikan penipuan dan pelanggaran data selama bertahun-tahun. Jadi, jika kamu tumbuh besar dengan uang tunai dan buku cek manual, mempercayakan keuangan pada layar digital bukanlah kemajuan melainkan risiko.
Menemukan Kepuasan dalam Hal yang Fisik dan Nyata
Pada dasarnya, penolakan belanja online bukan bentuk penolakan kemajuan melainkan soal preferensi. Mereka ingin memegang barangnya, membawa pulang dengan tangan sendiri, tahu pasti apa yang mereka beli dan dari siapa. Seperti menulis kartu ucapan alih-alih kirim pesan teks. Yang satu cepat, yang lain meninggalkan bekas—sidik jari, noda tinta, sesuatu yang manusiawi.
Bagi banyak boomer, pengalaman fisik bersifat emosional. Suara struk dicetak, berat kantong belanja, senyum kasir. Semua itu bukan hanya bagian dari tugas, tapi bagian dari cerita hari itu. Dan tidak semua hal harus dioptimalkan. Beberapa hal cukup dipertahankan karena di sanalah letak kebahagiaannya.