Jakarta (beritajati.com)- Kasus beras oplosan yang mencuat pada Juli 2025 menjadi tamparan keras bagi sistem tata niaga pangan di Indonesia. Investigasi yang dilakukan oleh Dittipideksus Bareskrim Polri mencatat bahwa kerugian negara akibat praktik kecurangan ini mencapai angka fantastis: Rp100 triliun.
Menurut peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov, skandal ini tidak hanya soal beras oplosan, tapi juga menjadi bukti nyata bahwa sistem distribusi dan pengawasan pangan di Indonesia penuh celah.
“Dari 268 merek beras yang diuji oleh Kementerian Pertanian, sebanyak 212 merek atau 79 persen melanggar standar mutu, terutama soal kadar patahan dan label yang tidak sesuai dengan kategori premium,” ungkap Abra dalam pernyataan tertulis, Senin (4/8/2025).
Konsumen Rugi, Pedagang Menjerit
Akibat lemahnya pengawasan, masyarakat menjadi korban utama. Abra memperkirakan kerugian konsumen mencapai Rp99 triliun per tahun, akibat maraknya produk yang tidak sesuai mutu dan praktik penipuan label.
Kondisi ini menciptakan asimetri informasi, di mana konsumen tidak bisa membedakan mana beras premium asli dan mana yang oplosan. Ujungnya, banyak yang kehilangan kepercayaan pada produk kemasan. Beberapa pedagang bahkan melaporkan penurunan omzet hingga 50 persen karena konsumen beralih ke beras curah atau lokal.
Harga Beras Meroket Meski Pasokan Naik
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada pekan keempat Juli 2025, harga beras justru naik di 219 kabupaten/kota, bahkan mencapai Rp54.772/kg di Papua—angka yang sangat janggal mengingat stok nasional justru meningkat.
“Kenaikan harga di tengah surplus pasokan menandakan ada yang tidak beres dalam sistem stabilisasi antarwilayah,” kata Abra.
Ancaman Lebih Besar: Ketimpangan dan Inflasi
Dugaan keterlibatan beras subsidi dalam praktik oplosan semakin memperkeruh keadaan. Jika benar, hal ini mengindikasikan adanya pengalihan jatah beras untuk masyarakat miskin ke pasar komersial, yang berisiko memperparah ketimpangan akses pangan.
Tak hanya itu, beras pun menjadi penyumbang utama inflasi, dengan kontribusi sebesar 0,06 persen terhadap inflasi nasional.
Solusi Setengah Hati Pemerintah Dinilai Tidak Cukup
Meski pemerintah telah melakukan langkah cepat—mulai dari inspeksi mutu, distribusi stok dari Bulog, hingga penegakan hukum—namun rencana penyeragaman harga eceran tertinggi (HET) dinilai justru bisa memperburuk keadaan.
“Kebijakan satu harga nasional bisa menimbulkan disinsentif terhadap peningkatan mutu, memperlebar kesenjangan distribusi, dan memberatkan pelaku usaha kecil,” ujar Abra.
Ia menegaskan bahwa yang dibutuhkan bukan solusi instan, melainkan reformasi struktural jangka panjang, seperti:
Penguatan sistem mutu nasional, Skema harga berbasis zonasi dan Transisi bertahap menuju pasar beras yang transparan dan kompetitif. [aje]