InfoMalangRaya.com—Juru bicara Brigade Izzuddin al-Qassam, sayap militer Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), Kamis malam, 30 Januari 2025, Abu Ubaidah, mengumumkan syahidnya Kepala Staf Brigade Izzuddin al-Qassam. Muhammad al-Dheif, dan sekelompok anggota mujahidin senior di Dewan Militer Al-Qassam selama “Operasi Taufan Al-Aqsha”, yang dimulai 7 Oktober 2024.
Ia mengatakan, para pemimpin militer tersebut syahid saat memimpin pertempuran atau dalam bentrokan langsung dengan tentara penjaah ‘Israel’, seraya mencatat bahwa Brigade Qassam kehilangan “sekelompok pemimpin heroik yang bertempur melawan penjajah selama bertahun-tahun,” katanya.
“هذا ما يليقُ بقائدنا محمد الضــيف، الذي أرهق الاحتلال لأكثر من 30 عاماً”..كلماتُ الناطق باسم القســـام “أبو عبيدة” في نعي القائد الشــــهيد محمد الضيف ورفاقه القادة الكبار. pic.twitter.com/WPAUHwhGv2— شبكة قدس الإخبارية (@qudsn) January 30, 2025
Mohammed Dheif adalah salah satu pemimpin militer Hamas yang paling menonjol, dan merupakan salah satu tokoh yang paling dicari penjajah, karena selalu berhasil selamat dari beberapa upaya pembunuhan di masa lalu.
Dalam pidatonya, Abu Ubaidah menekankan bahwa para pemimpin pejuang itu telah mencapai tujuan mereka, seraya menekankan bahwa darah mereka “tidak lebih berharga daripada darah anak Palestina mana pun di tanah ini.”
Ia menambahkan para pemimpin ini “menang saat menyerahkan panji kepada rekan-rekan mereka” dan menekankan bahwa rakyat mereka akan tetap berkomitmen pada pendekatan mereka hingga kemenangan Palestina tercapai, katanya.
Pengumuman ini muncul di tengah gencatan senjata sedang berlangsung antara pihak penjajah ‘Israel’ dan pejuang Hamas sebagai bagian dari tahap pertama perjanjian pertukaran tawanan Israel dan tahanan Palestina yang dimediasi oleh Mesir dan Qatar.
Abu Ubaidah mengatakan bahwa peran para pemimpin yang syahid tidak hanya terbatas pada memimpin pertempuran saja, namun mereka adalah “simbol keteguhan dan perlawanan” dan menginspirasi generasi mendatang, seraya menekankan bahwa Brigade Al-Qassam akan terus melanjutkan jalan perlawanan sampai mencapai tujuan mereka “membebaskan Palestina dan menegakkan kembali hak-haknya,” katanya.
Meski demikian, dalam pidatonya, Abu Ubaidah tidak merinci bagaiman keadaan dan kondisi terbunuhnya Al-Dheif dan para pemimpin lainnya.
Muhammad Al-Dheif dan Operasi ‘Taufan Al-Aqsha’
Mohamed Diab Ibrahim Al-Masry – atau dikenal sebagai Mohammad Al-Dheif Abu Khaled – lahir pada tahun 1965 dari keluarga pengungsi Palestina yang dipaksa meninggalkan kota mereka Al-Qubayba di dalam wilayah Palestina yang dijajah pada tahun 1948.
Ia belajar sains di Universitas Islam Gaza, dan selama masa studinya ia mendalami pemikiran Islam. Ia bergabung dengan gerakan Hamas dan dianggap sebagai salah satu orang-orang lapangannya yang paling menonjol.
Pasukan penjajah menangkap Muhammad al-Dheif pada tahun 1989, dan dia menghabiskan 16 bulan di penjaranya. Pembebasannya dari penjara bertepatan dengan dimulainya penampilan menonjol Brigade Izzuddin al-Qassam di arena perlawanan Palestina.
Ia pindah ke Tepi Barat bersama sejumlah pemimpin Qassam di Jalur Gaza, dan tinggal di sana selama beberapa waktu, di mana ia mengawasi pembentukan cabang Brigade Qassam di sana, dan muncul sebagai pemimpin Brigade Qassam. setelah pembunuhan Imad Aql pada tahun 1993
Muhammad al-Dheif mengawasi beberapa operasi perlawanan, termasuk penangkapan tentara ‘Israel’ Nachshon Wachsman, dan setelah pembunuhan Yahya Ayyash (salah satu simbol perlawanan terpenting) pada tanggal 5 Januari 1996, ia merencanakan serangkaian operasi fedayeen di balas dendam, yang mengakibatkan kematian lebih dari 50 warga Israel.
Selama dipenjara, Al-Dheif telah sepakat dengan Zakaria Al-Shorbaji dan Salah Shahadah untuk mendirikan gerakan terpisah dari Hamas, dan lahirnya Brigade Izzuddin Al-Qassam.
Al-Dheif memainkan peran penting dalam pengembangan senjata Hamas, yang membuatnya menjadi salah satu tokoh utama dalam daftar pencarian orang oleh penjajah.
Dia ditangkap oleh Otoritas Palestina (PA), salah satu kaki tangan Israel di Tepi Barat pada bulan Mei 2000, tetapi berhasil melarikan diri pada awal Intifada Al-Aqsha.
Penjajah Israel, yang menyebutnya sebagai “kepala ular” dan “anak kematian,” menuduhnya sebagai dalang sejumlah operasi militer besar terhadap target-target Israel.
Ini pertama kalinya, Brigade Al-Qassam menerbitkan foto asy-syahid Muhammad al-Dheif. Al-Dheif telah beberapa kali menjadi target pembunuhan dinas intelijen Zionis, yang terakhir adalah pada musim panas tahun 2014 selama agresi di Jalur Gaza.
Pada Sabtu pagi, 7 Oktober 2023, panglima tertinggi Brigade Izzuddin al-Qassam ini mengumumkan dimulainya operasi militer terhadap penjajah yang akhirnya kita kenal “Operasi Taufan Al-Aqsha” dan peluncuran ribuan roket ke arahnya.
خطاب تاريخي للقائد العام لكتائب القـ ـسـ ـام محمد الضيف الذي ارتقى على طريق القدس في معركة طوفان الأقصى. pic.twitter.com/VVCAk0Efeg— نحو الحرية (@hureyaksa) January 30, 2025
Pada tanggal 13 Juli 2024, penjajah menyerang daerah Al-Mawasi di Khan Yunis dengan serangkaian serangan, yang diumumkan bertujuan untuk membunuh Al-Dheif.
The Wall Street Journal melaporkan bahwa Israel menggunakan delapan bom, yang masing-masing beratnya 2.000 pon, dalam upayanya membunuh al-Dheif, dalam operasi yang menyebabkan gugurnya 92 orang dan melukai lebih dari 300 orang lainnya.
Syahidnya 6 Pemimpin Al-Qassam lain
Selain mengumumkan syahidnya Al-Dheif, Abu Ubaidah menjelaskan para syuhada yang syahid adalah: Kepala Staf Brigade Al-Qassam, Muhammad al-Dheif, dan sejumlah pemimpin, terutama Marwan Issa, Wakil Kepala Staf Brigade Qassam, Komandan Senjata dan Layanan Tempur, Ghazi Abu Tama’a, Komandan Bagian Sumber Daya Manusia, Raed Thabet, dan Komandan Brigade Khan Yunis, Rafe’ Salameh.
Ia juga menunjukkan bahwa kesyahidan komandan Brigade Utara, Ahmed Al-Ghandour, dan komandan Brigade Kegubernuran Tengah, Ayman Noufal, telah diumumkan sebelumnya selama perang Taufan Al-Aqsha di Jalur Gaza.
Marwan Issa, Wakil Kepala Staf Brigade Qassam yang dijuluki “Abu Al-Baraa”, lahir pada tahun 1965 di kamp pengungsi Al-Bureij di Jalur Gaza tengah.
Issa bergabung dengan Ikhwanul Muslimin di masa mudanya. Dia adalah pemain basket terkemuka dan dijuluki “Komando Palestina.”
Dia ditangkap oleh pasukan penjajah Israel selama Intifada Pertama (1987-1993) selama 5 tahun, karena aktivitas organisasinya di Hamas, yang dia ikuti sejak usia muda. Dia juga ditangkap oleh Otoritas Palestina (PA) selama beberapa tahun sebelum dibebaskan dari penjara saat pecahnya Intifada Al-Aqsha pada tahun 2000.
Marwan Issa pindah dari lapangan basket ke arena perlawanan dan melawan penjajah, dan bangkit menjadi orang kedua dalam kepemimpinan Brigade Al-Qassam, wakilnya Mohammed Dheif, dan penerus Ahmed al-Jaabari, yang gugur oleh tahun 2012.
Menurut Israel, Marwan Issa adalah salah satu perencana serangan “Taufan Al-Aqsha”.
Pada tanggal 11 Maret 2024, tentara penjajah Israel mengumumkan bahwa IDF telah mengebom apa yang disebutnya sebagai pangkalan bawah tanah bagi para pemimpin Hamas di dekat kamp Nuseirat yang digunakan oleh dua pejabat senior gerakan tersebut, salah satunya adalah Marwan Issa.
Beberapa hari kemudian, Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan mengonfirmasi bahwa Issa telah meninggal dalam serangan udara Israel di Gaza tengah.
Marwan Issa dianggap sebagai salah satu orang yang paling dicari di Israel dan Amerika Serikat, karena Departemen Luar Negeri AS telah memasukkannya ke dalam daftar “Teroris Global yang Sangat Dicari” sejak tahun 2019, sementara Uni Eropa memasukkannya ke dalam “daftar hitam terorisme” setelah Operasi Banjir Al-Aqsha.
Tokoh Al-Qassam lain yang diumumkan syahid adalah Komandan Brigade Khan Yunis, Rafeh Salameh.
Salameh berasal dari keluarga yang kehilangan banyak orang dalam operasi militer penjajah Israel, terutama ibunya, yang syahid dalam serangan Israel di rumah keluarganya.
Salameh telah menjadi sasaran sejumlah upaya pembunuhan, termasuk satu pada tahun 2021, ketika tentara penjajah mengumumkan penghancuran rumahnya di Gaza, dengan menggambarkan rumah tersebut sebagai “bagian dari infrastruktur teroris” dan pusat operasi.
Tentara Israel menuduh Salameh bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan sejumlah operasi terhadapnya, yang mengakibatkan puluhan kematian dan cedera, yang paling penting adalah operasi “Omar Tabash” pada tahun 2005, di mana ruangan yang diperuntukkan bagi perwira dari Dinas Keamanan Dalam Negeri Israel, Shabak, diledakkan di lokasi militer Aruhan di tengah kota Jalur Gaza.
Di antara serangan-serangan ini adalah operasi “Ahmed Abu Tahoun” pada tahun 2007, yang disebut “Perburuan Ular 3,” dan yang menargetkan pasukan khusus Israel yang telah melakukan serangan terbatas.*/aj,shb,amyd