Agar Ramadhan Membekas di Bulan-bulan Berikutnya

NASIONAL279 Dilihat

InfoMalangRaya.com | Tak terasa, kita sudah berada di bulan Ramadhan kembali. Ada banyak kebaikan dan keberkahan yang kita dijumpai di bulan Ramadhan—seperti saling berbagi antarsesama, lantunan ayat suci terdengar di mana-mana, masjid dan mushala penuh dengan jamaah, dan program televisi pun menjadi lebih bernuansa religi.
Menurut A’idh Al-Qarni, dalam bukunya 30 Renungan Ramadhan, ada banyak rahasia, hikmah, dan tujuan di balik apa yang disyariatkan Allah—baik yang bisa diketahui akal maupun tidak. Generasi salaf saleh paham betul tentang puasa, karena itu mereka sangat mencintai Ramadhan dan begitu khusyuk dalam beribadah.
A’idh Al-Qarni menambahkan, puasa merupakan eksperimen luar biasa bagi jiwa agar berada dalam kondisi siap seratus persen untuk menanggung beban dan menghadapi persoalan, siap menunaikan pekerjaan-pekerjaan penting dan agung. “Seperti jihad fi sabilillah, menginfakkan harta benda di jalan Allah, dan berkurban,” tulisnya.
Ketua Program Studi Islam Pascasarjana Universitas Muham­madiyah Jakarta, Dr. Oneng Nurul Bariyah mengatakan, puasa itu tidak hanya menahan lapar dan dahaga, dari terbit fajar hingga terbenam matahari, tetapi lebih dari itu. “Puasa merupakan latihan dan membakar dosa,” ujar Nurul yang juga Anggota Majelis Tarjih PW Muhammadiyah Jakarta.
Menurutnya, berpuasa itu bisa dibagi menjadi beberapa kelompok. Pertama, puasa secara formal atau sekadar menahan lapar dan dahaga. Kedua, puasa menjaga penglihatan, pendengaran, dan segala hal yang membatalkan pahala puasa. Karena dalam puasa itu, ada yang membatalkan puasa dan ada yang membatalkan pahala puasa.
Segala hal yang bisa membatalkan pahala puasa inilah yang sebenarnya dapat berpengaruh terhadap perilaku. Banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapat apa-apa kecuali rasa lapar dan haus. “Ada istilah yang mengatakan ibadah paling mudah adalah puasa menahan lapar dan dahaga. Anak kecil pun bisa melakukannya,” katanya.
Padahal, implikasi puasa seharus­nya menciptakan orang yang bertakwa. Itulah kenapa dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ibadah puasa menjadi rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. “Ibadah shalat, zakat, dan haji itu dapat dilihat, sedangkan puasa tidak bisa dilihat karena menjadi rahasia Allah,” paparnya kepada Majalah Gontor.
Ketiga, berpuasa hendaknya selalu ingat Allah agar senantiasa merasa diawasi dalam segala hal. Hikmah puasa tersimpul dalam takwa kepada Allah, taat kepada perintah-Nya, menundukkan hawa nafsu dan syahwat, mengendalikan seluruh anggota tubuh, menyehatkan badan, membakar dosa-dosa, dan menumbuhkan rasa kepedulian sosial.
Inilah ciri-ciri orang yang bertakwa, yakni menjalankan perintah Allah, baik yang fardhu maupun sunah, dan menjauhi hal-hal buruk, bisa berupa perbuatan, keyakinan, maupun itikad. “Ada syirik besar dan syirik kecil. Dan yang paling banyak terjadi dan dikhawatirkan Nabi adalah syirik kecil atau riya’,” ujarnya.
Agar Ramadhan tidak sebatas selesai saat lebaran, Oneng Nurul Bariyah mengatakan, hendaknya kita memiliki kekhawatiran dalam hati, apakah puasa kita diterima atau tidak. Kekhawatiran akan membuat kita selalu ingat kepada Allah dan berhati-hati dalam bertindak. “Ingat kepada Allah itu bagian dari ciri orang yang bertakwa,” tandas Nurul.
Untuk itu, niat berpuasa kita harus ikhlas karena Allah. Kalau tidak ada keikhlasan dalam diri seseorang, mana mungkin dalam ibadah, termasuk puasa, bisa memberikan hikmah. Tidak hanya itu, agar puasa kita baik, maka sebelumnya harus dipersiapkan. Karena itu, ada istilah mengatakan bahwa bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan tidak bisa dipisahkan.
Keberhasilan kita di Ramadhan sebenarnya tergantung pada kema­tang­an diri kita dalam memper­siapkan dan menyambut bulan suci ini. Dengan begitu, kita dapat memanfaatkan waktu seoptimal mungkin. Rasulullah sendiri melakukan pengondisian fisik dan ruhani sebelum Ramadhan tiba, seperti puasa sunah dan amalan ibadah lainnya.
Rasulullah SAW pernah mengajar­kan doa kepada kita. “Allaahumma baarik lana fii rajab wa baarik lana fii Sya’ban wa baallighna fii Ramadhan.” Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab ini, dan berkahilah kami di bulan Sya’ban ini, dan sampaikan kami (panjangkan usia kami) hingga bulan Ramadhan.
Dr. Sa’id al-Qahthani menulis dalam Buku Pintar Puasa Sunah, Rasulullah adalah orang yang paling banyak berpuasa di bulan Sya’ban, dan keutamaan berpuasa di bulan tersebut telah banyak dibahas dalam hadis.
Dalam riwayat Aisyah ra. dijelas­kan, “Aku tidak pernah melihat Nabi berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan aku tidak pernah melihat beliau memperbanyak puasa seperti beliau lakukan pada bulan Sya’ban.”
Dalam riwayat Ummu Salamah disebutkan, “Aku tidak pernah melihat beliau berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali pada bulan Sya’ban dan Ramadhan.”
Menurut Syekh Ibnu Baz yang pernah mendudukkan hadis Aisyah dengan hadis Ummu Salamah, apa yang Aisyah ra. sebutkan dalam riwayat ini adalah paling umum, yaitu beliau berbuka pada sebagian bulan Sya’ban. Pada kesempatan lain, beliau berpuasa sebulan penuh, sebagaimana disebutkan dalam hadis Ummu Salamah.
Usamah bin Zaid juga meriwayat­kan, “Wahai Rasulullah, aku tidak melihat engkau berpuasa pada satu bulan seperti yang engkau kerjakan dari bulan Sya’ban.” Beliau bersabda, “Itu adalah bulan di antara Rajab dan Ramadhan yang dilupakan manusia. Bulan Sya’ban merupakan bulan di mana amal-amal diangkat dihadapkan kepada Rabb semesta alam. Karena itu, aku senang apabila amalku diangkat, sedangkan aku berpuasa.”
Berpuasa di bulan Sya’ban itu ibarat ibadah rawatib atau ibadah sunah yang mengiringi ibadah wajib. Sebagaimana keutamaan shalat rawatib mengiringi shalat wajib. “Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Puasa ini bisa menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan,” tulisnya.
Hal senada juga disampaikan Abdullah Taslim, MA bahwa Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang rajin beribadah hanya di bulan Ramadhan. Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang sangat buruk, karena tidak mengenal hak Allah kecuali di bulan Ramadhan. Hamba Allah yang saleh adalah orang yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh.”
Dalam kisah Imam asy-Syibli sebagaimana yang dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam Kitab Latha-iful Ma’aarif. Suatu ketika, asy-Syibli pernah ditanya, “Mana yang lebih utama, bulan Rajab atau Sya’ban?” Beliau menjawab, “Jadilah kamu hamba Rabbani—yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat, dan janganlah kamu menjadi hamba Sya’bani—yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban.”
Salah satu tanda diterimanya ibadah puasa kita adalah beristiqa­mah setelah bulan Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda, “Amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim). “Jika Rasulullah menger­jakan amal kebaikan, maka beliau akan merutinkannya.” (HR. Muslim)
Karena itu, Allah SWT juga mensyariatkan puasa 6 hari di bulan Syawal. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunah) enam hari di bulan Syawal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh.” (HR. Muslim)
Adanya puasa sunah sebelum dan sesudah Ramadhan—baik di bulan Rajab, Sya’ban, Syawal, maupun puasa-puasa sunah lainnya, seperti puasa Senin-Kamis dan puasa tengah bulan merupakan bukti bahwa kita harus menjadi hamba Rabbani. Selain itu, ada makna tersirat di dalamnya, yakni agar Ramadhan senantiasa membekas di bulan-bulan berikutnya.
Semoga kita bukan termasuk golongan orang-orang yang celaka karena tidak mendapatkan ampunan Allah SWT selama bulan Ramadhan, sebagaimana disebut dalam doa Jibril dan diamini Rasulullah SAW, “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya yang belum diampuni oleh Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari).* (Muttaqien/MG)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *