Hak Moral dan Ekonomi dalam Royalti Lagu
Royalti lagu memiliki dua aspek penting yang harus diperhatikan, yaitu hak moral dan hak ekonomi. Menurut pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Laurensia Andrini, hak moral merupakan bagian tak terpisahkan dari pencipta karya. Hak ini mencakup pengakuan bahwa seseorang adalah pencipta asli dari sebuah lagu serta perlindungan terhadap integritas karyanya. Artinya, setiap penggunaan lagu, baik secara komersial maupun nonkomersial, wajib menyertakan nama pencipta aslinya.
Hak moral tidak dapat dialihkan atau dihilangkan, karena merupakan hak abadi yang melekat pada pencipta. Hal ini berarti, siapa pun yang ingin mengubah lirik, mempermainkan makna, atau merusak karya tersebut tanpa izin, akan melanggar hak moral yang dimiliki oleh pencipta. Selain itu, hak ekonomi juga sangat penting karena berkaitan langsung dengan kemampuan pencipta untuk mendapatkan manfaat finansial dari karyanya.
Hak ekonomi memberi kesempatan bagi pencipta untuk memperoleh pendapatan dari penggunaan komersial lagu, seperti pemutaran di radio, penggunaan dalam film, atau iklan. Jika sebuah lagu diputar di ruang publik atau dipentaskan, maka pencipta berhak menerima royalti sebagai bentuk penghargaan atas karyanya.
Permasalahan dalam Pengelolaan Royalti
Masalah royalti sering muncul karena banyak musisi belum menerima hak mereka meski karya mereka telah digunakan di berbagai tempat publik. Laurensia menilai permasalahan ini berasal dari dua sisi utama, yaitu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang kurang transparan dan pelaku usaha yang masih rendah kesadaran untuk membayar royalti.
Menurutnya, masalah ini bersifat sistemik dan bisa disebabkan oleh kurangnya mekanisme transparansi yang jelas. Di sisi lain, para pengguna juga belum merasa bahwa pembayaran royalti adalah kewajiban mereka. Hal ini menunjukkan adanya ketidakpahaman tentang pentingnya hak cipta dalam dunia musik.
Aturan Hukum yang Mengatur Royalti
Sejumlah aturan hukum telah ditetapkan untuk mengatur pengelolaan royalti, mulai dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta hingga Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021. Selain itu, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 27 Tahun 2025 juga menjelaskan tata cara pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik.
Sejak tahun 2016, tarif dan mekanisme pembayaran royalti telah ditetapkan. Pelaku usaha wajib melaporkan frekuensi pemutaran lagu setiap bulan agar dapat dibayarkan kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Dengan demikian, secara normatif pelaku usaha yang melaporkan pemutaran lagu akan memenuhi kewajibannya.
Distribusi Royalti dan Budaya Hukum di Indonesia
Setelah pembayaran dilakukan, LMKN akan mendistribusikan royalti ke LMK sesuai dengan musisi yang bersangkutan. Namun, dalam praktiknya, masalah masih sering muncul karena faktor budaya hukum di Indonesia yang cenderung komunal. Di Indonesia, kepemilikan karya cenderung bersifat kolektif daripada individu.
Laurensia menyebut bahwa secara hukum, LMKN wajib melakukan audit keuangan dan kinerja minimal sekali dalam setahun. Hasil audit ini harus diumumkan kepada masyarakat melalui media cetak nasional dan media elektronik. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pengelolaan royalti.