Peluncuran Akun TikTok Gedung Putih Mengundang Perhatian
Pada hari Selasa, 19 Agustus 2025, Gedung Putih mengumumkan peluncuran akun resmi TikTok. Platform yang dimiliki oleh perusahaan asal Tiongkok, ByteDance, telah lama menjadi sorotan karena isu keamanan data. Unggahan pertama dari akun tersebut berisi video singkat berdurasi 27 detik dengan keterangan “Amerika, kami kembali! Apa kabar TikTok?” yang langsung menarik perhatian pengguna media sosial. Dalam waktu satu jam setelah peluncuran, akun tersebut telah berhasil mengumpulkan sekitar 4.500 pengikut.
Laporan yang diterbitkan pada Rabu, 20 Agustus 2025, menyebutkan bahwa peluncuran akun TikTok Gedung Putih terjadi dalam situasi yang penuh ketidakpastian hukum terkait aplikasi ini di Amerika Serikat. Meskipun begitu, langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah tetap melibatkan platform media sosial dalam komunikasi dengan publik.
TikTok dan Era Trump
Selama masa kepemimpinan Presiden Donald Trump, TikTok menjadi target larangan operasional di Amerika Serikat. Pada masa itu, beberapa undang-undang federal disahkan yang memaksa TikTok untuk dijual atau dihentikan operasionalnya atas alasan keamanan nasional. Namun, meski ada perintah larangan, Trump sering kali menunda pelaksanaan aturan tersebut.
Awalnya, Trump memberikan tenggat waktu kepada TikTok untuk menjual perusahaan tersebut kepada perusahaan non-Cina atau diblokir. Setiap kali tenggat waktu mendekati, Trump memperpanjang masa tenggang. Penundaan pertama dilakukan pada 20 Januari 2025, kemudian diperpanjang lagi pada Juni tahun yang sama. Saat itu, pemerintah memberikan waktu hingga pertengahan September 2025 untuk menyelesaikan masalah kepemilikan aplikasi.
Trump, yang dikenal menggunakan media sosial sebagai alat utama untuk berkomunikasi dengan pengikutnya, mengatakan tidak terlalu khawatir tentang potensi larangan TikTok. Ia mengakui bahwa ia menyukai TikTok karena membantu terhubung dengan lebih banyak orang, khususnya generasi muda. Pada 2024, akun pribadinya di TikTok memiliki 110,1 juta pengikut, meskipun unggahan terakhirnya tercatat pada 5 November 2024, hari yang sama dengan pemilihan umum.
Perubahan Sikap Trump terhadap TikTok
Sikap politik Trump terhadap TikTok mulai berubah seiring waktu. Awalnya, ia sangat mendukung larangan TikTok karena kekhawatiran terhadap pengaruh Tiongkok. Namun, mendekati tenggat waktu pelarangan, ia mempertimbangkan dampak TikTok dalam menarik dukungan dari pemilih muda dalam pemilu 2024. Shou Zi Chew, CEO TikTok, dijadwalkan hadir dalam pelantikan Trump sebagai presiden.
Mahkamah Agung Amerika Serikat mendukung langkah pemerintah dan menolak argumen TikTok yang ingin terus beroperasi tanpa divestasi. Keputusan ini diambil secara bulat, meskipun beberapa hakim menyampaikan pandangan berbeda terkait dasar hukum keputusan tersebut.
Penundaan Pemblokiran TikTok
Sebelum keputusan Mahkamah Agung, pada Juni 2025, Trump kembali memperpanjang tenggat waktu larangan TikTok untuk ketiga kalinya hingga 17 September 2025. Perpanjangan ini dilakukan sebagai bagian dari upaya memberi kesempatan kepada ByteDance menyelesaikan proses divestasi dengan perusahaan luar Tiongkok yang dianggap memenuhi standar keamanan nasional. Penundaan ini seharusnya sudah habis masa berlakunya sejak perpanjangan pertama dan kedua.
Trump memperpanjang penundaan pemblokiran TikTok sampai 17 September 2025. Penundaan ketiga kali ini dilakukan melalui perintah eksekutif yang diterbitkan pada Kamis, 19 Juni 2025. Keputusan ini berarti TikTok masih bisa digunakan di Amerika Serikat. “Untuk memastikan kesepakatan ini ditutup sehingga rakyat Amerika dapat terus menggunakan TikTok dengan jaminan bahwa data mereka aman dan terlindungi,” kata Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt, dikutip dari laporan The Verge pada Rabu, 18 Juni 2025.
Joe Biden juga pernah memberi ByteDance waktu 270 hari untuk menyelesaikan proses divestasi atau menghadapi larangan. Karine Jean Pierre, juru bicara Gedung Putih masa kepemimpinan Joe Biden, menyatakan bahwa TikTok seharusnya tetap dapat beroperasi di Amerika. Tetapi, TikTok harus di bawah kepemilikan perusahaan Amerika yang dapat mengatasi masalah keamanan data nasional.
Adinda Jasmine dan Ananda Ridho Sulistya berkontribusi dalam penulisan artikel ini.