Penumpang dan Sopir Bus AKAP Beri Respons Beragam terhadap Larangan Memutar Musik di Dalam Bus
Penumpang bus antar kota antar provinsi (AKAP) menunjukkan berbagai tanggapan terkait larangan memutar musik di dalam kendaraan. Beberapa dari mereka merasa bahwa kebijakan ini terlalu ketat, sementara yang lain justru menyambut baik kebijakan tersebut.
Tazkia (26), salah satu penumpang bus AKAP, mengungkapkan bahwa tidak semua musik yang diputar di dalam bus bisa membuat suasana tenang. Kadang, lagu-lagu tertentu justru mengganggu pendengaran penumpang selama perjalanan. Menurutnya, jika tidak ada musik yang diputar, penumpang tetap bisa mendengarkan lagu favorit mereka melalui playlist pribadi. Ia juga menyebut bahwa terkadang suara musik yang diputar terlalu keras atau tidak sesuai dengan selera penumpang.
“Kadang berisik juga bus tu nyetel musik uanh lagi enggak kita pengen, misalkan pengen pop, pengen jazz ini lagu dangdut,” katanya. Tazkia menilai bahwa selama musik tidak disalahgunakan, hal tersebut tidak menjadi masalah.
Di sisi lain, Shaddam (21), seorang penumpang bus AKAP, merasa resah dengan kebijakan tersebut. Baginya, momen karoke dalam bus adalah cara untuk menghibur diri selama perjalanan. Shaddam yang sering pulang ke Jawa Tengah setiap minggu merasa bahwa tanpa musik, perjalanannya terasa sangat membosankan. Ia berharap pemerintah dapat segera menindaklanjuti isu ini agar kenyamanan masyarakat dapat kembali.
Sebelumnya, isu tentang royalti yang diminta oleh pembuat lagu kepada pihak-pihak yang memutar musik tanpa izin sempat membuat heboh. Salah satu restoran mi besar di Bali bahkan harus membayar royalti sebesar Rp 2,2 miliar setelah dituntut oleh Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI). Hal ini akhirnya memicu tindakan dari perusahaan angkutan umum seperti bus, yang mulai menerapkan larangan memutar musik di armada mereka.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik menjadi dasar dari kebijakan ini. Peraturan ini mewajibkan pembayaran royalti atas penggunaan musik dalam layanan publik bersifat komersial, termasuk di angkutan umum seperti bus.
Sementara itu, para sopir bus AKAP juga memberikan respons beragam terhadap kebijakan ini. Riko (24), seorang sopir bus jurusan Lampung, mengaku sudah tidak lagi memasang karoke di bus. Ia mengatakan bahwa kebijakan ini dilakukan sebagai respons atas isu royalti. Meski demikian, ia mengakui bahwa keberadaan musik tidak terlalu memengaruhi penumpang, karena jarang ada yang memintanya.
“Jarang-jarang itu adanya (yang minta musik), seribu satu penumpang. Beda jauh sama dulu yang banyak disetel (musik),” kata Riko. Namun, ia juga menyampaikan bahwa larangan memutar musik bisa membantu mencegah penumpang terlewat tujuannya. “Kalau ada musik itu takutnya bablas dia. Akhirnya mau turun di sini, turunnya di depan, agak jauh. Mending enggak usah dihidupin (musiknya),” imbuhnya.
Banyaknya tanggapan dari penumpang dan sopir bus AKAP menunjukkan bahwa kebijakan larangan memutar musik di dalam bus masih menjadi topik yang hangat dibahas. Di satu sisi, ada yang merasa kenyamanan berkurang, sedangkan di sisi lain, ada yang melihat kebijakan ini sebagai langkah penting untuk menghindari masalah hukum terkait hak cipta.