Antara Kasino, Etika dan Kedaulatan Politik

Usulan legalisasi kasino –meskipun menaikkan pendapatan negara— berisiko memperbesar kesenjangan dan moral publik. Banyak studi menunjukkan perjudian sumber pencucian uang,  krisis sosial dan keretakan keluarga

Oleh: Ali Musa Harahap, Ph.D

InfoMalangRaya.com | DALAM sebuah pendapat mengejutkan,seorang angota DPR RI mengusulkan agar Indonesia meniru beberapa negara Arab dalam menjalankan kasino sebagai sumber baru Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Usulan ini, datang dari anggota DPR Fraksi Golkar, Galih Kartasasmita, dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR bersama Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan pada Kamis, 8 Mei 2025.

Meski disampaikan dalam konteks optimalisasi pendapatan negara, memunculkan perdebatan serius yang menyentuh aspek moral, tata kelola berbasis nilai (value-based governance), pemberdayaan politik rakyat (political empowerment), dan tentu saja, nilai-nilai Islam yang menjadi salah satu fondasi kebudayaan bangsa.

Menilai negara dari kacamata penerimaan semata adalah pendekatan teknokratis yang sempit. Dalam kerangka value-based governance, negara tidak boleh memisahkan kebijakan dari nilai-nilai etika, budaya, dan agama yang hidup dalam masyarakat.

Konsep ini menekankan bahwa keberhasilan tata kelola tidak hanya diukur dari efisiensi fiskal, melainkan dari sejauh mana kebijakan mencerminkan nilai luhur seperti keadilan, tanggung jawab sosial, dan kesejahteraan bersama.

Usulan legalisasi kasino, meskipun dapat menaikkan pendapatan negara, berisiko memperbesar kesenjangan nilai antara kebijakan negara dan moral publik. Banyak studi menunjukkan bahwa industri perjudian, terutama kasino, rawan menjadi sumber pencucian uang, eksploitasi, hingga krisis sosial, seperti kecanduan dan keretakan keluarga.

Apakah negara hendak menambal APBN dengan cara menggadaikan nilai-nilai tersebut?

Miskin Imajinasi Politik

Alih-alih memperkuat basis ekonomi produktif atau mereformasi sistem perpajakan yang adil dan progresif, usulan membuka kasino justru mencerminkan kemiskinan imajinasi politik. Dalam konteks political empowerment, rakyat berhak mendapat kebijakan yang lahir dari kepemimpinan visioner, bukan sekadar manuver populis yang menjual “kemiripan” dengan negara lain tanpa mempertimbangkan kontekstual budaya dan ideologis Indonesia.

Membandingkan Indonesia dengan negara-negara Arab yang mengizinkan kasino juga tidak sepenuhnya valid. Negara-negara seperti Uni Emirat Arab atau Bahrain memiliki karakteristik politik otoriter dan model ekonomi rentier yang tidak bisa serta merta disamakan dengan demokrasi Indonesia yang pluralistik dan berbasis konstitusi.

Dari sudut pandang Islam, perjudian adalah maysir, dan secara eksplisit dilarang dalam Al-Qur’an (QS. Al-Ma’idah: 90). Lebih dari sekadar larangan ritual, Islam menolak perjudian karena ia menghasilkan kekayaan tanpa usaha nyata, serta menumbuhkan gaya hidup spekulatif yang merusak fondasi kerja keras dan keadilan sosial.

Lebih jauh, dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 disebutkan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal ini menuntut negara untuk menyelenggarakan pemerintahan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan, termasuk dalam kebijakan fiskal dan ekonomi.

Politik Ekonomi Berbasis Etika

Jika negara serius mencari sumber PNBP baru, banyak alternatif yang lebih etis dan berkelanjutan. Penguatan BUMN sektor digital, optimalisasi pajak dari industri ekspor digital, peningkatan royalti sumber daya alam yang adil, serta pembukaan investasi berbasis syariah adalah beberapa opsi strategis.

Indonesia bahkan dapat menjadi pusat halal economy global jika kebijakan ekonomi diarahkan sesuai dengan karakter masyarakat dan nilai-nilai yang dianutnya, dalam hal ini kita sudah tertinggal selangkah dengan negara tetangga Thailand yang sudah ‘berani’ mengklaim menjadi hub kepada ekonomi halal.

Usulan membuka kasino bukan sekadar soal politik ekonomi, tapi soal jati diri bangsa. Apakah kita bersedia menjual nilai demi uang?

Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap politikus dan lemahnya kontrol terhadap moralitas kebijakan, diperlukan suara publik yang lebih kuat, serta elit politik yang tidak kehilangan arah. Indonesia bukan hanya butuh penerimaan negara, tetapi juga arah moral dalam setiap keputusan strategisnya.

Penulis adalah pengajar Universitas Darussalam Gontor, alumnis Studi Ilmu Politik di International Islamic University Malaysia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *