Kritik terhadap Metodologi Perhitungan Pertumbuhan Ekonomi
Nailul Huda, seorang pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyoroti pentingnya transparansi dalam metode perhitungan pertumbuhan ekonomi yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Ia menilai bahwa data yang dirilis BPS tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi nyata di lapangan, sehingga memicu berbagai pertanyaan dan kecurigaan.
Pada tanggal 5 Agustus 2025, BPS mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua tahun ini mencapai 5,12 persen secara tahunan (yoy). Angka ini meningkat dibandingkan pertumbuhan pada kuartal pertama yang hanya 4,87 persen. Namun, Nailul Huda melihat adanya ketidaksesuaian antara data tersebut dengan realitas ekonomi yang terjadi di masyarakat.
Ia menemukan tiga hal yang mencurigakan dalam data ekonomi yang dirilis. Pertama, pola pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua tahun ini terlihat tidak biasa. Biasanya, momen Ramadan dan Lebaran menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Namun, pada tahun ini, angka pertumbuhan justru tertinggal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Kedua, ada ketidaksesuaian antara data pertumbuhan industri pengolahan yang mencapai 5,68% pada kuartal kedua dengan Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur yang berada di bawah 50 poin selama April hingga Juni 2025. Hal ini menunjukkan bahwa sektor manufaktur tidak melakukan ekspansi produksi yang signifikan. Selain itu, peningkatan jumlah PHK sebesar 32% secara tahunan (YoY) juga memberi indikasi bahwa situasi ekonomi tidak sepenuhnya stabil.
Ketiga, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya mencapai 4,96% di kuartal kedua dinilai tidak sejalan dengan kontribusinya yang mencapai 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini hanya sedikit lebih tinggi dari kuartal pertama yang mencapai 4,95%. Selain itu, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) justru melemah dari 121,1 di bulan Maret menjadi 117,8 di bulan Juni 2025.
Selain itu, peningkatan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebesar 6,99% juga tidak sejalan dengan PMI Manufaktur yang berada di bawah level ekspansi. Semua indikator ini menunjukkan bahwa ada ketidakcocokan antara data ekonomi yang dirilis dan kondisi riil di lapangan.
Nailul Huda menyatakan bahwa BPS seharusnya menjadi lembaga independen yang menjunjung tinggi akurasi data tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun. Ia menegaskan bahwa transparansi dalam metodologi perhitungan sangat penting agar data ekonomi dapat dipercaya dan relevan dengan realitas ekonomi nasional.
Di sisi lain, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi membantah adanya kejanggalan dalam perhitungan BPS. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan gabungan beberapa komponen yang berkontribusi terhadap pergerakan ekonomi nasional. Meski demikian, pemerintah tetap memberikan domain perhitungan kepada BPS, sementara tugas pemerintah adalah menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan komponen-komponen tersebut.
Prasetyo menekankan bahwa cara perhitungan ekonomi merupakan domain BPS sendiri. Ia menilai bahwa BPS memiliki kewenangan penuh dalam menentukan metode perhitungan yang digunakan. Namun, ia juga mengakui bahwa pemerintah memiliki peran dalam menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif untuk pertumbuhan.