Potensi Musik Indonesia Menyaingi KPop, Tapi Diperlukan Perbaikan Sistem Hukum
Industri musik di Tanah Air kini sedang menghadapi tantangan besar. Konflik hukum terkait hak royalti dan hak cipta antara pencipta lagu dengan penyanyi semakin memuncak. Hal ini menciptakan ketidakjelasan dalam sistem yang seharusnya melindungi semua pihak terkait.
Sejumlah musisi akhirnya mengambil langkah tegas dengan mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai aturan tersebut memiliki celah yang bisa dimanfaatkan untuk menimbulkan perselisihan. Salah satu tokoh yang aktif dalam hal ini adalah Armand Maulana, vokalis band GIGI dan ketua kelompok Vibrasi Suara Indonesia (VISI).
Armand menyatakan bahwa potensi industri musik Indonesia sangat besar. Bahkan, ia yakin musik Indonesia bisa bersaing dengan KPop Korea Selatan jika sistem hukum yang jelas dan adil diterapkan. Pernyataan ini disampaikannya setelah menghadiri sidang uji materi UU Hak Cipta di MK.
“Indonesia boleh bangga. Industri musik kita sangat bagus dan mampu bertarung di Asia Tenggara bahkan Asia,” ujar Armand. Ia menegaskan bahwa kejelasan hukum menjadi kunci utama agar konflik tidak terjadi lagi.
Menurut Armand, sidang MK bukan hanya tentang undang-undang, tapi juga tentang sistem yang selama ini dinilai abu-abu. “Harapan kami adalah kepastian hukum yang tegas, sehingga tidak ada lagi ketakutan atau kekacauan,” katanya.
Armand menyayangkan sistem yang selama ini tidak transparan dan membingungkan. Ia berharap MK dapat memberikan keputusan yang jelas dan melindungi semua pihak, baik penyanyi, pencipta, maupun pelaku industri lainnya.
Selain Armand, beberapa musisi seperti Sammy Simorangkir juga mengungkapkan kekhawatiran mereka. Sammy menilai sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta multitafsir, termasuk yang menyebut pencipta lagu bisa menagih royalti langsung kepada penyanyi. Hal ini menurutnya merusak rasa aman bagi para pelaku pertunjukan.
Sammy menjelaskan bahwa hampir semua lagu membutuhkan kerja kolektif dari berbagai pihak, seperti penata musik, produser, dan kru. Jika hak eksklusif atas lagu ditafsirkan sebagai kekuasaan mutlak, maka akan terjadi ketimpangan.
Beberapa pasal dalam UU Hak Cipta yang diuji oleh MK antara lain Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2). Dalam pasal-pasal ini, terdapat ketidakjelasan yang memicu sengketa antara penyanyi dan pencipta lagu.
Masalah pengelolaan royalti juga menjadi perhatian serius. Berdasarkan Pasal 89 ayat (1) hingga (3), royalti harus dikelola melalui manajemen kolektif nasional. Namun, frasa “setiap orang” dalam undang-undang ini masih bisa ditafsirkan secara berbeda, sehingga memungkinkan pemegang hak cipta untuk menagih langsung kepada pelaku pertunjukkan.
Ariel Noah, bersama 28 musisi lainnya, juga melakukan uji materi UU Hak Cipta. Salah satu permintaan mereka adalah membolehkan penyanyi membawakan lagu tanpa izin pencipta, asalkan membayar royalti.
Marcell Siahaan, Ketua Departemen Hukum Pappri, menyatakan bahwa penerapan norma UU Hak Cipta saat ini gagal. Hal ini menyebabkan penyanyi bisa dikriminalisasi meskipun sudah membayar royalti. Menurutnya, beberapa pasal dalam undang-undang ini belum memenuhi unsur kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
Dengan begitu, upaya untuk merevisi UU Hak Cipta dan memperjelas sistem hukum menjadi penting. Harapan besar ditempatkan pada MK dan DPR untuk memberikan keputusan yang jelas dan melindungi semua pihak dalam industri musik. Dengan demikian, potensi musik Indonesia untuk menyaingi KPop bisa terwujud.







