Mengenal Doomscrolling dan Dampaknya pada Kesehatan Mental
Doomscrolling adalah kebiasaan menggulir media sosial secara intensif untuk membaca berita buruk dan konten negatif. Kebiasaan ini dapat memberikan dampak serius terhadap kesehatan mental, terutama jika dilakukan dalam jangka panjang. Otak yang terus-menerus terpapar informasi negatif akan mengalami peningkatan stres, yang berdampak pada peningkatan hormon stres seperti kortisol. Hal ini membuat tubuh selalu dalam kondisi siaga, meskipun tidak ada ancaman nyata.
Dampak jangka panjang dari doomscrolling bisa sangat merugikan. Kesejahteraan mental dan kepuasan hidup seseorang bisa menurun, terutama di kalangan pengguna media sosial Gen Z. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Airlangga menunjukkan bahwa semakin sering seseorang melakukan doomscrolling, semakin tinggi risiko stres psikologis dan penurunan kualitas hidup mental. Selain itu, paparan berita negatif juga bisa memengaruhi kualitas tidur hingga menyebabkan insomnia.
Menurut laman Alodokter, doomscrolling dapat memicu stres, kecemasan, dan isolasi sosial akibat paparan berita-berita negatif yang berlebihan. Ini berpotensi menurunkan kualitas hidup dan kesehatan mental secara umum. Tidak hanya itu, doomscrolling juga bisa memperburuk gangguan mental yang sudah ada, seperti depresi dan kecemasan. Pengguna media sosial yang terlalu banyak melakukan doomscrolling cenderung merasa putus asa dan rendah diri, yang secara signifikan mengurangi kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup mereka.
Selain dampak psikologis, dorongan kompulsif untuk terus mengecek berita buruk juga bisa menyebabkan kecanduan media sosial. Kecanduan ini sulit dihentikan karena algoritma media sosial sering kali menampilkan konten negatif secara berulang. Hal ini membuat pengguna sulit untuk lepas dari siklus doomscrolling.
Cara Mengatasi Doomscrolling
Untuk menghadapi dampak buruk doomscrolling, kesadaran diri menjadi hal penting. Membatasi akses terhadap konten negatif dan mengganti waktu layar dengan aktivitas positif seperti olahraga atau interaksi sosial fisik bisa menjadi langkah awal. Selain itu, platform media sosial juga perlu bertanggung jawab dengan menyesuaikan algoritma agar tidak terus menampilkan berita-berita negatif yang berlebihan.
Beberapa solusi yang bisa diterapkan antara lain pengembangan fitur tampilan berdasarkan waktu posting daripada konten algoritmik. Dengan demikian, pengguna tidak terus-menerus terpapar informasi negatif. Selain itu, penting bagi masyarakat untuk lebih selektif dalam mengonsumsi informasi dan membangun ekosistem digital yang sehat.
Menjaga kesehatan mental di era digital membutuhkan kesadaran bersama. Dengan dukungan lingkungan dan kesadaran diri, kita dapat menciptakan ruang digital yang lebih sehat. Hal ini akan berdampak positif terhadap kesejahteraan mental generasi masa depan Indonesia.






