InfoMalangRaya.com— Hari Anak Nasional yang diperingati setiap 23 Juli menjadi momen penting untuk merefleksikan kondisi anak-anak Indonesia. Namun tahun ini, sorotan tak hanya tertuju pada anak-anak sebagai subjek perlindungan, tetapi juga kepada orang tua—sebagai figur pengasuh—yang dinilai belum dewasa secara emosional.
Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, mengangkat isu ini dalam peringatan Hari Anak Nasional yang digelar lebih awal pada Ahad pagi (20/7/2025) di Bundaran HI, Jakarta. Dalam keterangannya kepada media, Nasaruddin menegaskan bahwa banyak persoalan yang dihadapi anak-anak justru bermula dari ketidakmatangan orang tua dalam bersikap dan mengasuh.
“Yang perlu diperbaiki bukan hanya anak-anaknya, tapi juga orang tuanya. Banyak orang tua yang dewasa secara umur, tapi childish secara kepribadian,” ujar Nasaruddin seperti dikutip dari Detik.com.
Ia melanjutkan, tidak sedikit kasus kekerasan dan pelanggaran hak anak yang dilakukan oleh orang tua yang secara usia dewasa, tetapi secara emosional belum matang. Dalam banyak kasus, anak justru menunjukkan tingkat kedewasaan dan empati yang lebih tinggi daripada orang tuanya sendiri.
“Kadang justru anak yang lebih dewasa ketimbang orang tuanya,” kata Nasaruddin lagi.
Kekerasan terhadap Anak Sering Berasal dari Orang Tua yang Tidak Tuntas
Peringatan Hari Anak Nasional tahun ini dibayangi data kelam soal kekerasan terhadap anak. Berdasarkan data LPAI (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia), sepanjang semester awal 2025 tercatat peningkatan signifikan pada laporan kekerasan fisik, emosional, hingga seksual terhadap anak. Ironisnya, sebagian besar pelaku justru adalah orang tua kandung atau kerabat dekat.
Nasaruddin menyampaikan keprihatinannya atas fakta ini. Ia menekankan pentingnya edukasi dan pembinaan terhadap para orang tua agar tidak hanya siap secara ekonomi dalam mengasuh anak, tetapi juga siap secara mental dan spiritual.
“Kadang ada orang tua yang punya anak tapi belum siap jadi orang tua. Anak menjadi korban dari emosi yang tak terkontrol, dan kadang hanya karena masalah sepele,” tambahnya.
Lebih lanjut, Nasaruddin mengajak seluruh elemen masyarakat, terutama institusi pendidikan dan keagamaan, untuk memperkuat peran pembinaan keluarga. Ia menilai, keluarga adalah madrasah pertama dan utama bagi anak, dan jika figur pengasuh utamanya belum matang, maka anak-anak berisiko tumbuh dalam pola didik yang menyimpang.
Negara Harus Hadir sebagai ‘Orang Tua Kedua’
Dalam peringatan ini, Kementerian Agama menggelar jalan sehat yang diikuti 1.099 anak dari berbagai lembaga pendidikan, termasuk madrasah, pesantren, hingga SLB. Rute jalan sehat dimulai dari depan Gedung Kementerian Agama hingga Bundaran HI, menciptakan suasana penuh kegembiraan dan harapan.
Nasaruddin yang ikut berjalan kaki bersama para siswa menegaskan bahwa negara harus berperan sebagai “orang tua kedua” bagi seluruh anak Indonesia.
“Jika orang tua biologis tidak mampu mendidik dengan baik, negara harus hadir. Kita tak boleh membiarkan anak-anak tumbuh tanpa arahan dan kasih sayang,” tegasnya dalam kutipan Pikiran Rakyat.
Acara ini juga menjadi momentum afirmasi bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab kolektif—bukan hanya orang tua, tapi juga lembaga agama, pendidikan, pemerintah, dan masyarakat luas.
Menjadi Orang Tua Bukan Hanya Masalah Usia
Peringatan Hari Anak Nasional 2025 membawa pesan mendalam: menjadi orang tua bukan hanya soal usia atau status, tapi kesiapan emosional dan kedewasaan jiwa. Banyak orang tua dewasa usia, tetapi masih menyimpan luka masa kecil yang belum disembuhkan, lalu melanjutkan pola pengasuhan yang toksik pada generasi berikutnya.
Pesan Nasaruddin Umar ini seharusnya menjadi refleksi nasional: jika ingin menciptakan generasi anak yang sehat, maka yang pertama-tama perlu dibenahi adalah cara berpikir dan bersikap para orang tuanya.
“Anak-anak kita adalah cermin dari dunia batin kita. Jika mereka tumbuh dalam kekerasan, maka kita sebagai orang tua perlu bercermin, bukan menyalahkan,” pungkasnya.*