Belajar Fiqih Langsung dari Hadits atau Kitab Fiqih, Bolehkah?

Tradisi ulama salaf dalam belajar fiqih tidak meninggalkan matan-matan fiqih dan beralih ke kumpulan hadits-hadits hukum

InfoMalangRaya.com |Assalamu’alaikumwarahmatullahi wabarakatuh. Ada yang memberi saran, untuk belajar fiqih tidak perlu dari matan-matan kitab fiqih, tapi langsung melalui kitab-kitab hadits fiqih atau hukum. Misalnya kitab Umdatul Ahkam, Bulughul Maram, atau al-Muntaqa, yang merupakan kumpulan Hadits-hadits hukum. Apakah memang demikian yang semestinya?

Faiz ZA di Surabaya

Jawaban:

Fiqih menurut definisi para ulama adalah:

العِلْمُ بالأحكامِ الشرعيَّةِ العَمَلِيَّةِ، المُكْتَسَبُ مِن أَدِلَّتِها التفصيليَّةِ

“Ilmu mengenai hukum-hukum syar`i yang sifatnya amalan, yang mana ilmu itu diperoeh dari dalil-dalilnya secara terperinci.” (Nihayah as-Suul, hal. 11).

Dari definisi tersebut bisa diketahui bahwa fiqih itu berasal dari dalil, dan antara fiqih dan dalil tidak pernah terpisah.

Dengan demikian, ketika kitab-kitab fiqih yang sifatnya ringkasan tidak menyebutkan dalil, tidak bermakna bahwa isi kitab-kitab itu tidak berdasarkan dalil. Adanya kitab-kitab fiqih berupa matan yang ringkas dimaksudkan untuk mempermudah para penuntut ilmu dalam menghafal dan mengkajinya.

Belajar Fiqih dari Hadits-hadits Hukum

Sejatinya, para ulama yang menulis kumpulan hadits hukum tidak bertujuan untuk menggantikan kitab-kitab fiqih yang berupa matan yang sifatnya ringkas.

Mulai dari kitab Umdatul Ahkam karya al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi. Ulama Mazhab Hanbali ini menulis di muqaddimah bahwa beberapa temannya meminta agar beliau menulis sebuah karya yang berupa ringkasan hadits-hadits hukum dari Imam al-Bukhari maupun Imam Muslim. (Umdatul Ahkam, hal. 4).

Al-Hafizh Abdul Ghani tidak menyerukan agar umat Islam meninggalkan kitab-kitab fiqih yang berupa matan dan berpindah mempelajari fiqih melalui Umdatul Ahkam. Bahkan al-Hafizh Abdul Ghani belajar kitab-kitab fiqih Mazhab Hanbali yang berupa matan. Salah satunya adalah kitab al-Hidayah yang dipelajari dari gurunya di Baghdad, Syaikh Abdul Qadir. (Dzail Thabaqat al-Hanabilah, 3/4).

Kitab al-Hidayah sendiri berupa kumpulan pendapat ulama Mazhab Hanbali, yang ditulis tanpa menyebutkan dalil, karya Nashih al-Islam al-Kalwadzani (510 H).

Penulisnya menyebutkan bahwa al-Hidayah hanya memuat pokok-pokok dari fiqih Mazhab Hanbali tanpa menyertakan masalah-masalah cabang. Harapan penulis bahwa kitab itu mempermudah para pemula dan sebagai pengingat bagi para pembelajar tingkat tinggi. (al-Hidayah, hal. 9).

Begitu pula al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani yang menulis Bulughul Maram, tidak untuk menggantikan kitab-kitab fiqih. As-Sakhawi, murid Ibnu Hajar, menyebutkan bahwa gurunya menulis kitab tersebut untuk anaknya yang bernama Muhammad. (al-Jawahir wa ad-Durar, 3/1220).

Di samping menulis Bulughul Maram yang merupakan kumpulan Hadits-hadits hukum, Ibnu Hajar juga menulis matan fiqih Mazhab Syafi’i ringkasan dari kitab at-Tanbih karya Imam asy-Syirazi, meski belum menyelesaikannya. (al-Jawahir wa ad-Durar, 2/690).

Al-Hafizh Ibnu Hajar juga belajar fiqih dari kitab-kitab fiqih yang berupa matan dalam fiqih Mazhab Syafi’i, salah satunya adalah at-Tanbih. (al-Jawahir wa ad-Durar, 1/11).

Kitab at-Tanbih hanya menyebutkan pendapat para ulama dalam Mazhab Syafi`i tanpa menyebutkan dalilnya. Sebab itulah al-Hafizh Ibnu Katsir menulis kitab Irsyadul Faqih ila Ma`rifai Adillah at-Tanbih, yang berisi dalil-dalil untuk masalah-masalah yang disebutkan dalam kitab tersebut.

Bagaimana dengan kitab al-Muntaqa min Akhbar al-Musthafa karya Majduddin Ibnu Taimiyah, yang disyarh oleh Imam asy-Syaukani menjadi Nailul Authar? Sama dengan para ulama lainnya, Majduddin tidak bermaksud untuk mengumpulkan Hadist-hadits hukum dalam kitab itu agar para penuntut ilmu meninggalkan kitab-kitab matan fiqih.

Di samping menulis kumpulan hadits-hadits hukum, Majduddin Ibnu Taimiyah juga menulis kitab fiqih Hanbali yang berupa matan yang disebut al-Muharrar. Dalam muqaddimahnya, kakek Ibnu Taimiyah al-Harrani ini menyebutkan bahwa kitab itu merupakan kitab fiqih ringkasan dalam Mazhab Hanbali dan beliau sengaja tidak menyertakan dalil-dalilnya. (al-Muharrar an-Nukat wa al-Fawaid as-Saniyah, 1/1).

Tradisi belajar fiqih sejak masa salaf

Dengan demikian, tradisi yang berlaku di kalangan para ulama terdahulu, tidak meninggalkan matan-matan fiqih dalam mempelajari fiqih dan beralih ke kumpulan hadits-hadits hukum. Kebiasaan itu berlaku bagi para ulama, termasuk para penulis kumpulan hadits-hadits hukum.

Sedangkan menyebutkan hukum-hukum fiqih tanpa menyebutkan dalil sudah merupakan tradisi para ulama sejak masa salaf. Hal itu bukan berarti mereka berpendapat tanpa dalil.

Sebagaimana Imam Malik, tidak banyak menyebut dalil ketika berbicara mengenai hukum fiqih. Hal ini bisa dilihat dari al-Mudawwanah, yang diriwayatkan oleh Imam Sahnun.

Imam Malik dalam menyampaikan ilmu, membagi majelis menjadi dua: pertama untuk periwayatan hadits, kedua membahas khusus masalah fatwa. Untuk majelis hadits, Imam Malik tidak menghadiri kecuali dengan mandi, memakai wangi-wangian, dan pakaian bagus dalam rangka mengagungkan hadits Rasulullah ﷺ. Sedangkan untuk menyampaikan fatwa, beliau keluar dengan penampilan apa adanya. (al Madarik, 2/14-15).

Bisa disimpulkan bahwa Imam Malik dalam menyampaikan fatwa tidak menyertakan dalil dari hadits Rasulullah ﷺ. Jika menyampaikan hadits, maka beliau pun bersuci dan memakai wangi-wangian serta pakaian bagus. Padahal beliau tidak melakukannya.

Apakah ini berarti bahwa Imam Malik berbicara hukum fiqih tanpa dalil? Tentu tidak. Beliau ulama besar dalam bidang hadits dengan kitab yang masyhur, al-Muwaththa`. Wallahu a`lam bish shawab.*/ Thoriq, Lc, MA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *