Surabaya (IMR) — Polemik terkait proporsi anggaran pendidikan dalam APBD Kota Surabaya 2025 mencuat dalam Hearing Komisi D DPRD Surabaya, Senin (30/6/2025).
Sejumlah elemen masyarakat dan legislatif mempertanyakan komitmen Pemerintah Kota Surabaya yang dinilai belum memenuhi amanat konstitusi terkait alokasi minimal 20 persen untuk belanja pendidikan.
Direktur Intra Publik, Mauli Fikr, menjadi salah satu pihak yang paling vokal mengkritisi kondisi tersebut. Ia memaparkan bahwa berdasarkan Perda Nomor 9 Tahun 2024 tentang APBD Surabaya 2025, alokasi belanja pendidikan hanya mencapai 19,37 persen.
“Data ini saya peroleh dari website resmi PPID Surabaya. Kalau dirinci, anggaran dari Dinas Pendidikan dan Dinas Perpustakaan hanya mencapai Rp2,391 triliun,” kata Mauli.
Ia juga mengungkap tren alokasi pendidikan selama tiga tahun terakhir yang dinilainya tidak pernah mencapai ambang batas konstitusi. Menurutnya, ini menjadi ironi mengingat Surabaya adalah salah satu kota dengan kekuatan fiskal terbesar di Indonesia.
“Bahkan jika kita lihat tren dari 2023, 2024, hingga 2025, belanja fungsi pendidikan tidak pernah mencapai angka konstitusional,” tutur Mauli.
Mauli juga mengungkap bahwa kondisi ini sudah terjadi sejak APBD Perubahan 2024, di mana porsi belanja pendidikan bahkan lebih rendah, hanya 18 persen. Ia menilai rendahnya komitmen anggaran ini berdampak nyata pada kualitas pendidikan di Kota Pahlawan.
“Kota ini punya fiskal tertinggi secara nasional, tapi komitmennya pada pendidikan belum terlihat dari proporsi anggarannya,” tegas Mauli.
Lebih lanjut, ia menyinggung bahwa rendahnya porsi anggaran pendidikan berkorelasi dengan stagnasi capaian Indeks Pendidikan Surabaya. Menurutnya, hal ini menjadi salah satu penyebab ketertinggalan Surabaya dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibandingkan daerah lain.
“Rendahnya komitmen belanja pendidikan berindikasi pada tidak tercapainya target Indeks Pendidikan Surabaya dalam empat tahun terakhir. Padahal kita tahu hal tersebut merupakan indikator penting dalam pencapaian IPM,” imbuhnya.
Menanggapi kritik tersebut, Kepala Bappeda Litbang Kota Surabaya, Irvan Wahyudrajad, menjelaskan bahwa perhitungan belanja pendidikan tidak hanya bersumber dari dua dinas. Ia menyebut ada 12 Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lain yang terlibat menjalankan fungsi pendidikan.
“Belanja fungsi pendidikan di Surabaya tidak hanya melalui Dinas Pendidikan. Ada 12 OPD lain yang juga menjalankan fungsi pendidikan, seperti Dispora, Dinas Sosial, DLH, hingga DP3A. Jika semua tertanggung, totalnya mencapai 20,96 persen atau bahkan lebih,” ujar Irvan.
Irvan juga mencontohkan beberapa program yang belum tercatat secara formal sebagai belanja pendidikan, seperti Beasiswa Pemuda Tangguh senilai Rp40,2 miliar. Ia meyakini, jika seluruh program lintas OPD dimasukkan, proporsi anggaran pendidikan justru melebihi batas konstitusional.
“Kalau ini dimasukkan, bisa lebih dari 21 persen,” tegasnya.
Selain itu, Irvan mengungkap persoalan lain terkait data administrasi warga yang dinilai belum sinkron. Ia menyebut masih banyak penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi, namun data kependudukan belum diperbarui.
“Banyak warga Surabaya lulusan S1 atau S2, tapi di KK masih tercatat SMA. Ini akan kami update agar tercermin dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM),” katanya.
Ketua Komisi D DPRD Surabaya, dr. Akmarawita Kadir, meminta Pemkot menyajikan penjelasan yang lebih transparan dan detail terkait proporsi belanja pendidikan. Ia juga menyebut kecenderungan penurunan persentase, meski secara nominal anggaran mengalami peningkatan.
“Kalau belanja dari 12 OPD dimasukkan semua, baru terlihat utuh,” ujar Akmarawita.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Yusuf Masruh, memastikan bahwa anggaran pendidikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, ia mengakui bahwa komponen belanja pegawai masih mendominasi penggunaan anggaran.
“Tahun 2023 sebesar Rp1,9 triliun, 2024 naik ke Rp2,06 triliun, dan tahun ini Rp2,335 triliun. Kenaikan anggaran menyesuaikan pendapatan daerah,” jelas Yusuf.
Namun, Imam Syafi’i mengingatkan agar peningkatan APBD tidak membuat alokasi proporsional untuk pendidikan justru stagnan. Ia mengungkap bahwa belanja operasional, terutama untuk pegawai, masih mendominasi alokasi anggaran pendidikan.
“Selama ini sekitar 90 persen belanja pendidikan masih terserap untuk belanja pegawai,” tegas Imam.
Menutup forum, Mauli Fikr kembali menegaskan bahwa indikator utama yang harus dikejar adalah peningkatan kualitas dan keadilan akses pendidikan. Ia mengingatkan agar kenaikan anggaran tidak hanya besar di atas kertas, tetapi harus berdampak nyata di lapangan.
“Anggaran boleh besar, tapi dampaknya harus terasa di kualitas dan keadilan akses pendidikan. Jangan sampai besar di kertas, tapi kecil di lapangan,” tutup Mauli. [asg/ian]