InfoMalangRaya.com– Lima wanita ras campuran, hari Senin (9/9/2024) di pengadilan banding Brussels menuntut ganti rugi dari pemerintah Belgia karena telah diambil paksa dari ibu mereka di Kongo 70 tahun lalu. Kelima wanita tersebut menuduh Belgia melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan pada era kolonial di Kongo, di mana banyak anak diambil paksa dari orangtua dan keluarganya untuk kemudian ditempatkan di institusi.
Penggugat mempermasalahkan tindak kejahatan yang dilakukan Belgia pada tahun 1948-1961 dan menyangkut seluruh kebijakan menempatkan anak-anak ras campuran di lembaga-lembaga keagamaan yang dikelola oleh gereja, yang sebenarnya merupakan bagian dari kebijakan rasial yang diterapkan pemerintah kolonial Belgia di Kongo.
Kelima wanita tersebut – yang sekarang berusia 70-an – menuduh Belgia melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di negara asal mereka, Republik Demokratik Kongo (DRC).
Mereka menuntut keadilan, kompensasi, dan pengakuan dari pemerintah Belgia atas kejahatan-kejahatan tersebut, lansir RFI.
Pihak berwenang Belgia mengakui bahwa sekitar 14.000 sampai 20.000 anak terlibat dalam kasus ini, tetapi, meskipun jumlah mereka cukup besar, nasib mereka sejak lama diabaikan, menurut laporan koresponden RFI di Brussels.
Pada tahun 2021, majelis hakim menolak motivasi yang diajukan oleh kelima penggugat, dengan mengatakan, “Tidak seorang pun dapat dihukum karena kejahatan yang tidak ada pada saat terjadinya fakta yang dituduhkan”.
Kelima wanita tersebut kemudian mengajukan banding atas keputusan itu dan persidangannya dimulai pada hari Senin 9 September.
Pada masa penjajahan kala itu, Belgia berdalih bahwa penempatan anak-anak ras campuran di institusi yang dikelola oleh gereja dimaksudkan untuk memberikan mereka “pendidikan Eropa”, untuk menciptakan kasta orang Kongo yang disukai oleh pemerintah kolonial.
Namun pada kenyataannya, itu merupakan kebijakan terpadu guna memisahkan anak-anak ini – yang disebut “mulatto” – dari ibu mereka sehingga mereka menjadi “tidak terlihat” keberadaannya. Anak-anak ras campuran tersebut, meskipun ayah mereka sudah tidak mengakuinya, dianggap menyaingi supremasi rasial kaum penjajah.
Anak-anak tersebut diasingkan baik dari komunitas kulit hitam Afrika maupun dari komunitas kulit putih kaum penjajah.
“Mereka diculik, dianiaya, ditelantarkan, dan diusir dari dunia. Mereka adalah bukti nyata kejahatan negara yang tidak diakui,” kata tim pengacara para penggugat pada tahun 2021.
Pada tahun 2019 di hadapan parlemen Belgia, Perdana Menteri Charles Michel atas nama pemerintah meminta maaf atas penculikan ribuan anak ras campuran di DRC antara tahun 1959 dan 1962.
Permintaan maaf itu merupakan pengakuan resmi pertama oleh pemerintah Belgia terkait penculikan dan pemisahan paksa anak-anak dari Kongo untuk ditempatkan di sekolah-sekolah dan panti asuhan di Belgia yang dikelola oleh Gereja Katolik pada masa kolonial.
Pada tahun 2022, Raja Belgia Philippe juga menyampaikan “penyesalan terdalamnya” atas penderitaan yang ditimbulkan oleh negaranya selama penjajahan di Republik Demokratik Kongo, tetapi dia tidak meminta maaf secara resmi atas eksploitasi, rasisme dan tindak kekerasan yang dilakukan Belgia terhadap rakyat Kongo.*