Mojokerto (IMR) – Di tengah meredupnya tren batu akik, para perajin cincin monel di Desa Pekuwon, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto tetap eksis. Sudah sejak tahun 1980-an, desa ini dikenal sebagai sentra kerajinan monel, terutama untuk pembuatan ring atau cincin batu akik yang dibuat secara manual (handmade).
Salah satu perajin, Heru Sisnoto (51) mengatakan saat ini masih ada sekitar 10 perajin aktif di desanya yang terus memproduksi cincin berbahan monel. Meskipun peminat batu akik tak seramai dulu, produk mereka tetap diminati kolektor dan pecinta akik dari berbagai daerah di Indonesia.
“Selain cincin, kita juga buat liontin, kepala sabuk (gesper), gelang, dan vandel untuk hiasan meja,” ungkapnya, Rabu (16/7/2025).
Heru menuturkan, keterampilan membuat cincin monel di desanya berasal dari seorang keturunan Tionghoa asal Probolinggo yang menikah dengan salah satu warga Pekuwon sekitar tahun 1987. Keahlian membuat kerajinan monel tersebut kemudian diajarkan kepada empat adik iparnya, hingga menyebar ke warga lainnya.
“Ilmu ini diturunkan dari satu keluarga ke lainnya. Sekarang kami ini sudah generasi ketiga,” katanya.
Di tengah gempuran produk pabrikan dan menurunnya tren akik, para perajin ini tak kehabisan akal. Mereka memanfaatkan media sosial seperti Facebook (FB) untuk memasarkan produk secara online. Melalui grup-grup komunitas pecinta akik, produk buatan Komunitas Monel Handmade Mojokerto (MHM) mampu menjangkau pembeli hingga ke pelosok Nusantara.
“Dulu kita aktif promosi di grup Facebook, akhirnya banyak peminat. Sampai sekarang pesanan terus ada dari berbagai daerah,” imbuhnya.
Konsistensi dan kreativitas, para perajin monel Pekuwon menunjukkan bahwa warisan keterampilan lokal tetap bisa bertahan di era digital. Mereka berharap dukungan dan perhatian pemerintah agar kerajinan tradisional ini bisa terus hidup dan berkembang. [tin/aje]