Saat pemimpin ASEAN berkumpul di Kuala Lumpur berbicara tentang perdamaian dan persatuan, kata-kata mereka hanya akan bermakna jika diiringi tindakan nyata yang menyelamatkan nyawa dan mengembalikan hak
Oleh: Abu Ahmed Farid
InfoMalangRaya.com | SAAT dunia mengalihkan pandangannya ke Kuala Lumpur dalam rangka KTT ASEAN ke-47 pada 26–28 Oktober 2025, Asia Tenggara berada di titik kritis yang akan menentukan tidak hanya relevansi diplomatik kawasan ini, tetapi juga karakter moralnya.
Tema “Memajukan Persatuan Regional dan Perdamaian Berkelanjutan” terdengar mulia, namun di balik spanduk megah dan komunike yang dibentuk secara cermat tersimpan kebenaran pahit yang lama terabaikan oleh ASEAN: tragedi berkelanjutan yang dialami rakyat Rohingya.
Selama lebih dari empat dekade, Rohingya—minoritas Muslim pribumi dari bagian barat Burma (Myanmar)—telah menghadapi penganiayaan sistematis, penolakan kewarganegaraan, dan pengungsian massal. Gelombang kekerasan besar, terutama pada 2012, 2016, dan 2017, memaksa ratusan ribu melarikan diri.
Kini, lebih dari 1,4 juta pengungsi Rohingya terdampar di Bangladesh, sementara puluhan ribu lainnya mengungsi dalam negara (IDPs) di provinsi Rakhine, dan banyak yang mencari perlindungan tak pasti di Malaysia, Indonesia, Thailand, dan sekitarnya. Prinsip pendirian ASEAN tentang “perdamaian dan kemakmuran bersama” terasa hampa ketika salah satu anggota membranya menjadi saksi dari apa yang oleh PBB disebut “contoh pembersihan etnis yang nyata.”
Krisis Rohingya bukan tragedi nasional semata, melainkan darurat kawasan dengan implikasi politik, kemanusiaan, dan keamanan yang dalam. Setiap negara anggota utama ASEAN—dari jalur pengungsi di Thailand, operasi penyelamatan di laut Indonesia, hingga komunitas pengungsi lama di Malaysia—merasakan dampaknya.
Bangladesh menanggung beban pengungsi terbesar di Asia, dengan kamp-kamp besar di Cox’s Bazar yang menampung lebih dari sejuta Rohingya dalam kondisi memprihatinkan.
Malaysia dan Indonesia menjadi tempat persinggahan sekunder mereka yang melarikan diri lewat laut, setelah perjalanan berbahaya melintasi Teluk Bengal dan Laut Andaman. Ribuan nyawa hilang setiap tahun, sebuah ironi yang mencerminkan kelumpuhan ASEAN.
Kurangnya perlindungan hukum memunculkan jaringan perdagangan manusia yang menguntungkan dari wilayah konflik di Rakhine menuju hutan-hutan Thailand dan pesisir Malaysia; korban yang sebenarnya hanya mencari keselamatan kini dianggap kriminal.
Krisis kemanusiaan ini telah berubah menjadi ancaman keamanan transnasional yang menuntut koordinasi regional yang mendesak.
ASEAN, dengan prinsip pendirian “keadilan, supremasi hukum, dan tata kelola yang baik,” justru memilih diam saat dihadapkan bukti genosida dan kejahatan kemanusiaan.
Bagi komunitas Rohingya yang tersebar, keheningan ini lebih menyakitkan daripada kekerasan itu sendiri, mencerminkan pengkhianatan oleh tetangga sendiri.
Setelah kudeta militer Myanmar 2021, ASEAN mengumumkan Konsensus Lima Poin yang menjanjikan akhir kekerasan, dialog inklusif, akses kemanusiaan, dan penunjukan utusan khusus.
Namun empat tahun berlalu, kenyataannya jauh suram; junta militer terus melakukan serangan udara, menghalangi bantuan, dan memenjarakan ribuan. Utusan ASEAN tak diizinkan masuk ke wilayah kunci termasuk Negara Bagian Rakhine. Apa yang awalnya menjadi peta jalan perdamaian kini menjadi slogan diplomatik kosong.
Langkah ASEAN untuk mengecualikan perwakilan junta dari pertemuan tingkat tinggi mendapat pujian sebagai menunjukkan ketegasan, tapi tanpa penegakan berarti—tidak ada sanksi, tidak ada batas waktu, dan tidak ada mekanisme tindak lanjut nyata. Rezim di Naypyidaw percaya ASEAN takkan melanggar doktrin non-intervensinya.
Aktivis Rohingya, akademisi, dan pembela HAM berkali-kali menawarkan ide konstruktif seperti membentuk Kerangka Perlindungan Pengungsi ASEAN dan dialog konsultatif dengan pemimpin Rohingya yang mengungsi. Sayangnya, partisipasi mereka hanya simbolis. Ketika yang paling terdampak dikesampingkan, kebijakan menjadi pertunjukan formalitas, bukan kemajuan.
KTT Kuala Lumpur memberikan kesempatan langka bagi ASEAN untuk mengembalikan kepemimpinan moralnya. Malaysia sebagai tuan rumah sekaligus tempat diaspora Rohingya terbesar memiliki legitimasi dan tanggung jawab besar.
Visi ASEAN 2045 harus secara eksplisit memasukkan perlindungan pengungsi, jaminan tanpa kewarganegaraan, dan prinsip non-pengusiran paksa (non-refoulement). Tanpa kerangka hukum dan etika ini, ASEAN akan terus menganggap pengungsi sebagai masalah luar biasa, bukan tanggung jawab bersama.
Langkah kelembagaan yang penting adalah membentuk Komite Permanen ASEAN untuk Pengungsi dan Orang Tanpa Kewarganegaraan, yang dipimpin awal oleh Malaysia dan Indonesia, untuk mengoordinasikan bantuan, standarisasi kebijakan pengungsi, dan kerjasama berkelanjutan dengan UNHCR dan IOM. Keadilan tertunda berarti keadilan ditolak.
Kredibilitas ASEAN tak akan diukur dari pidato-pidato puncak, melainkan dari keberanian menuntut pertanggungjawaban para pelaku. KTT Kuala Lumpur harus mendukung penguatan Mekanisme Investigasi Independen untuk Myanmar (IIMM), mendorong kerjasama dengan Pengadilan Internasional (ICJ) dan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), serta mendirikan Misi Penyelidikan Fakta ASEAN di Negara Bagian Rakhine untuk melaporkan secara publik situasi kemanusiaan dan prasyarat repatriasi aman.
Rencana junta mengadakan pemilihan umum akhir 2025 bertujuan melegitimasi kekuasaan militer. ASEAN tidak boleh mengulangi kesalahan masa lalu.
Keterlibatan dengan Myanmar harus bersyarat: gencatan senjata nasional, akses kemanusiaan tanpa batas, pemulihan kebebasan politik, dan jaminan keamanan bagi komunitas Rohingya. Mengakui pemilu tanpa memenuhi kriteria ini adalah pengkhianatan atas keadilan.
Dari sisi kemanusiaan, ASEAN harus bersama Bangladesh dan PBB membuka koridor bantuan ke Rakhine untuk penilaian kondisi pengembalian. Repatriasi harus sukarela, bermartabat, dan terkait dengan restorasi kewarganegaraan penuh, bukan residensi sementara dalam pengawasan.
Negara anggota, khususnya Malaysia dan Indonesia, harus mengakui kewajiban kemanusiaan sementara: perlindungan hukum bagi pengungsi, akses pendidikan dan penghidupan, serta imun dari penahanan atau deportasi semena-mena. Ini bukan anugerah, melainkan kewajiban moral yang berakar pada keadilan dan kemanusiaan.
Doktrin non-intervensi ASEAN pada awalnya dibuat untuk melindungi kedaulatan, bukan menutupi kekejaman. Krisis Rohingya telah melampaui batas Myanmar dengan dampak regional yang nyata.
ASEAN harus berkembang dari sikap pasif menjadi keterlibatan konstruktif berbasis prinsip tanggung jawab melindungi (responsibility to protect). Model keputusan konsensus, di mana satu negara bisa memblokir kemajuan, sering melumpuhkan ASEAN. Malaysia harus memimpin koalisi negara-negara yang siap bertindak—Indonesia, Filipina, Singapura, Brunei—untuk mendorong reformasi kemanusiaan lewat format ASEAN-Plus jika konsensus penuh gagal.
Dalam negeri, Malaysia harus menjadi contoh dengan meratifikasi hak-hak pengungsi, menghentikan pemulangan paksa, dan memperluas akses pendidikan serta lapangan kerja. Kepemimpinan regional sejati dimulai dari rumah.
Kepemimpinan Malaysia tahun 2025 memiliki nilai simbolis luar biasa. Malaysia yang lama menunjukkan solidaritas kepada Rohingya kini diuji untuk mengubah empati menjadi kebijakan. Dengan menempatkan isu Rohingya sebagai agenda utama KTT, mengadakan dialog kemanusiaan, mengusulkan Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Martabat Pengungsi, serta berkomitmen pada mekanisme tindak lanjut, Malaysia bisa mendefinisikan ulang warisan ASEAN.
Sejarah akan mengingat Malaysia jika memilih keberanian, atau menghakimi keheningannya. Vonis moral momen ini akan bergema jauh melewati ruang-ruang diplomasi.
Rohingya telah bertahan dalam kemiskinan, pembantaian, dan pengabaian selama puluhan tahun, tapi tidak kehilangan harapan. Kisah mereka bukan hanya soal penderitaan, melainkan keyakinan teguh akan keadilan.
Saat pemimpin ASEAN berkumpul di Kuala Lumpur berbicara tentang perdamaian dan persatuan, kata-kata mereka hanya akan bermakna jika diiringi tindakan nyata yang menyelamatkan nyawa dan mengembalikan hak.
Ukuran sejati suatu kawasan bukan pertumbuhan ekonomi atau statistik perdagangan—melainkan kesiapan menjaga yang tertindas, memelihara integritas moral, dan mempertahankan stabilitas dan perdamaian regional yang adil dan berkelanjutan.
Biarlah KL 2025 menjadi momen ASEAN menemukan kembali hati dan kemanusiaannya.*
Penulis dikenal khusus membahas isu-isu kemanusiaan dan politik di kawasan Asia Tenggara, terutama terkait krisis Rohingya