Yogyakarta (IMR) – Wacana penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengundang reaksi kritis dari kalangan akademisi. Salah satunya datang dari Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Aprinus Salam, yang menolak keras ide tersebut.
Menurut Aprinus, kebudayaan bukanlah sesuatu yang bisa dibatasi hanya dalam satu hari peringatan. Ia berpendapat, menjadikan kebudayaan sebagai perayaan tahunan justru melemahkan esensi sejatinya.
“Saya tidak setuju ada Hari Kebudayaan Nasional. Kebudayaan itu hidup setiap hari—dalam tindakan, dalam hubungan antar manusia, dalam cara kita saling menghargai,” tegasnya saat diwawancarai, Senin (21/7).
Reduksi Makna Budaya Lewat Seremoni
Lebih jauh, Aprinus mengingatkan bahwa kebudayaan bukan seremoni, bukan ritual tahunan, melainkan nilai yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Ia khawatir penetapan hari khusus ini akan membuat masyarakat hanya fokus pada persiapan seremonial tanpa benar-benar menerapkan nilai budaya itu sendiri.
“Kalau kebudayaan hanya diperingati setiap 17 Oktober, nanti orang bisa lupa bahwa setiap hari adalah hari kebudayaan. Ini bisa menjadi jebakan seremoni semata,” ujarnya.
Budaya Butuh Aksi, Bukan Peringatan
Dalam pandangannya, semangat kebudayaan tidak memerlukan simbolisasi dalam bentuk perayaan nasional, melainkan implementasi nyata. Ia menilai bahwa kehidupan masyarakat seharusnya menjadi ladang subur praktik kebudayaan, bukan sekadar momentum seremoni.
“Kebudayaan harus dihidupi, bukan diperingati. Yang dibutuhkan adalah tindakan nyata yang berkelanjutan, bukan perayaan sesaat,” tutupnya. [aje]