Polemik Royalti Musik di Transportasi Darat
Polemik terkait pemungutan royalti musik di ruang publik kini mulai menyebar ke sektor transportasi darat. Banyak perusahaan otobus (PO) memilih untuk mematikan fasilitas audio selama operasional armadanya berjalan, karena khawatir akan dikenakan biaya royalti. Hal ini menjadi isu yang semakin mengemuka dalam dunia transportasi.
Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (Ipomi), Kurnia Lesani Adnan, menyatakan bahwa aturan terkait royalti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021 membuat operator bus berada dalam posisi sulit. Menurutnya, setiap pendengar musik di ruang publik seharusnya sudah membayar biaya lisensi melalui platform musik seperti YouTube atau Spotify, bukan hanya mendengarkan secara gratis.
Sani, yang juga merupakan pemilik PO SAN (Siliwangi Antar Nusa), menjelaskan bahwa pengusaha bus berupaya untuk tunduk pada aturan yang berlaku. Saat ini, banyak perusahaan jasa transportasi darat memilih langkah aman dengan mematikan musik di armadanya. Tidak hanya di tempat usahanya sendiri, beberapa PO telah menerapkan aturan larangan memutar musik di bus kepada para kru-nya. Mereka bahkan menggaungkan tagar #TransportasiIndonesiaHening di media sosial.
“Bisa dilihat di media sosial dan di seluruh angkutan umum orang, kami mematikan audio bus saat beroperasi,” ujarnya.
Bus Pariwisata Paling Terdampak
Menurut Sani, aturan royalti musik ini paling berdampak pada bus pariwisata. Biasanya, perjalanan wisata identik dengan hiburan musik dan karaoke di dalam bus, namun kini hal tersebut tidak bisa dilakukan lagi.
“Yang sangat terganggu adalah pengguna bus pariwisata. Kalau untuk bus reguler, penumpang relatif memahami sikap operator yang mematikan fasilitas audio daripada harus menambahkan biaya royalti ke komponen tarif,” ucapnya.
Sani juga menyampaikan kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa berdampak pada usaha transportasi pariwisata. Ia tak menutup kemungkinan jika aturan ini tidak disusun jelas oleh pemangku kebijakan, maka bisnis transportasi pariwisata bisa terganggu.
“Yang pasti masyarakat akan beralih untuk menghindari transportasi umum kalau aturan ini dibiarkan tidak jelas,” katanya.
Dampak yang Muncul dari Aturan Royalti
Dengan adanya aturan ini, banyak pengusaha transportasi menghadapi tantangan baru. Mereka harus mempertimbangkan antara memberikan layanan yang nyaman bagi penumpang dan tetap mematuhi regulasi yang berlaku. Beberapa PO memilih untuk mematikan fasilitas audio sebagai bentuk kepatuhan, meskipun hal itu dapat mengurangi pengalaman berkendara bagi penumpang.
Selain itu, aturan ini juga berpotensi memengaruhi industri musik di Indonesia. Jika penggunaan musik di ruang publik terus dibatasi, maka potensi pendapatan dari lisensi musik bisa berkurang. Namun, di sisi lain, aturan ini juga bertujuan untuk melindungi hak cipta seniman dan musisi.
Langkah yang Diperlukan
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan koordinasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan penyedia layanan musik. Penyederhanaan aturan serta pembuatan sistem pembayaran royalti yang transparan dan mudah diakses bisa menjadi solusi. Selain itu, edukasi kepada pengusaha transportasi tentang pentingnya lisensi musik juga perlu dilakukan agar mereka lebih memahami konsekuensi dari penggunaan musik tanpa izin.
Dengan demikian, semua pihak dapat bekerja sama menciptakan lingkungan yang saling menghargai, baik bagi pengusaha transportasi maupun para pencipta musik.