InfoMalangRaya.com – Haji Zainuddin Hamidy dilahirkan pada 8 Februari 1907 di Kota Nan Empat, Payakumbuh, Sumatera Barat. Ia tumbuh dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai pendidikan agama. Pendidikan dasarnya dimulai di Jongen Vervolkschool, sebuah sekolah rakyat yang dijalaninya selama lima tahun. Setelah itu, ia melanjutkan studi ke Sumatera Thawalib di Padang Japang, sebuah lembaga pendidikan Islam terkenal yang kala itu diasuh oleh Syeikh Abbas Abdullah.Magnum Opus Karya Tafsir Al-Qur’an Zainuddin HamidyAkhir Pengabdian
Atas saran Syeikh Abbas Abdullah, kehausannya terhadap ilmu membawanya menempuh perjalanan ke tanah suci Mekah, di mana ia menimba ilmu di Ma’had Hijaziyah. Di sanalah ia tidak hanya menghafal Al-Qur’an 30 juz dengan lancar, tetapi juga mendalami ribuan hadis Nabi, serta berbagai disiplin ilmu seperti ilmu mantiq, ushul fikih, musthalah hadis, dan sejarah Islam. Karena kecerdasannya, ia mendapat ijazah istimewa dari gurunya, Syeikh Ahmad Chatib, sebagai tanda pengakuan akan kemampuannya meneliti sanad hadis dan memberikan penilaian terhadapnya.
Sekembalinya dari Mekah pada tahun 1932, Zainuddin Hamidy mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan. Ia tidak pernah mencari jabatan negeri, melainkan membaktikan hidupnya di madrasah. Ia memimpin Madrasah Diniyah di Payakumbuh, yang kemudian diganti namanya menjadi Ma’had Islamy. Di lembaga ini, selama 25 tahun tanpa henti, ia mencurahkan waktunya mendidik generasi muda. Keberhasilan lembaga ini membuat namanya dikenal luas. Para pelajar datang bukan hanya dari Sumatera Barat, tapi juga dari Sumatera Utara, Selatan, hingga dari negeri jiran Malaya.
Tahun 1941, badai besar melanda—secara harfiah dan kiasan. Bangunan sekolah rusak diterjang angin topan, sejumlah guru dilarang mengajar, dan para murid terpaksa belajar di dangau. Namun Zainuddin tidak menyerah. Ia tetap mengajar siang hari dan berdakwah ke kampung-kampung pada malam harinya.
Dalam perjalanan waktu, ribuan murid pernah berguru padanya. Banyak dari mereka kemudian memegang jabatan penting: mulai dari lurah, camat, hingga perwira militer. Bahkan ada yang menjadi menteri (seperti Dahlan Ibrahim) atau diplomat (Zaidan Somad di Irak). Meski demikian, Zainuddin tetap rendah hati. Ia hidup sederhana, berpakaian biasa, dan masih merokok daun Tarusan. Tawaran menjadi pejabat tinggi Kementerian Agama di Jakarta maupun dosen di Yogyakarta ia tolak. Ia merasa lebih tentram dengan “PGT” — Peraturan Gaji Tuhan — yang baginya cukup, tidak pernah kurang, dan tidak menimbulkan kegelisahan batin.
Pada masa revolusi kemerdekaan, Zainuddin aktif dalam berbagai pergerakan: menjadi anggota Komite Nasional, anggota MPRK, penasihat Bupati, hingga bergabung dalam markas “Imamul Jihad”. Ia tidak hanya berperan dalam medan pendidikan dan dakwah, tetapi juga memberi semangat perjuangan kemerdekaan dan membela Islam dengan penuh keberanian. Ketika perjuangan senjata mereda dan orang-orang mulai menduduki kursi jabatan, ia memilih kembali ke madrasah dan masjid.
Kegiatan hariannya padat. Pagi ia mengajar di Ma’had Islamy, siangnya di Training College. Setelah itu ia memeriksa silsilah hadis-hadis Imam Bukhari dan Muslim. Sore harinya ia menyempatkan diri singgah ke kantor Masyumi. Malam harinya, ia berdakwah di masjid-masjid. Ia juga rutin dua kali seminggu mengajar di Perguruan Tinggi Islam “Darul Hikmah” di Bukittinggi.
Zainuddin Hamidy dikenal sebagai sosok yang tenang dan bersih dari cacat moral. Ia tidak pernah terlibat skandal, baik dalam soal uang, jabatan, maupun perempuan. Karena itulah kepercayaan masyarakat kepadanya sangat tinggi. Ia disayangi bukan hanya oleh ulama, tetapi juga pemuda, pejabat, bahkan orang-orang yang awalnya menentangnya. Ia dikenal bijaksana dalam pergaulan dan mampu menempatkan diri di segala kalangan.
Dalam bidang organisasi, ia menjabat Ketua Umum Masyumi Payakumbuh sejak 1946 sampai wafatnya. Di tengah gelombang pergolakan, ia tetap menjadi tumpuan umat. Ia juga menjadi anggota Dewan Banteng di tahun-tahun terakhir hidupnya dan tengah menyusun terjemahan hadis-hadis Shahih Bukhari, sebuah cita-cita ilmiah yang belum sempat ia rampungkan.
Magnum Opus Karya Tafsir Al-Qur’an Zainuddin Hamidy
Tak banyak yang meneliti secara mendalam karya tafsirnya. Di antara yang sedikit itu, terdapat dalam skripsi berjudul: “Corak Tafsir Ijtima’i di Indonesia Modern: Studi atas Kitab Tafsir Qurän Karya H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs.”, karya Ridhan Fauzi—mahasiswa Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif InfoMalangRaya Jakarta- yang berupaya mengkaji corak penafsiran sosial-kemasyarakatan (ijtima’i) yang terdapat dalam karya tafsir kedua tokoh tersebut. Skripsi ini disusun sebagai bagian dari upaya memahami kontribusi tafsir lokal dalam merespons problematika umat Islam di Indonesia. Menurut Ridhan, meskipun tafsir ini cukup dikenal di kalangan pesantren dan madrasah, kajian akademik terhadap coraknya masih sangat terbatas.
Ridhan menemukan bahwa Tafsir Qurän karya Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs. memiliki kecenderungan yang kuat terhadap corak tafsir ijtima’i. Corak ini dicirikan oleh upaya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan fokus pada konteks sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Gaya tafsir yang digunakan cenderung ringkas, tidak banyak menggunakan pendekatan kebahasaan seperti nahwu, sharaf, atau balaghah, tetapi langsung pada makna praktis ayat dan bagaimana itu dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya jelas: membimbing umat untuk memahami nilai-nilai Al-Qur’an dalam konteks yang mereka hadapi.
Isi tafsir ini banyak menyinggung masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, korupsi, penyelewengan kekuasaan, hingga kemerosotan moral. Ridhan menilai bahwa para penulis tafsir ini tidak sekadar menjelaskan ayat dalam arti literal, tetapi juga menjadikannya sebagai media kritik sosial dan ajakan untuk melakukan perbaikan. Masyarakat bukan hanya diajak untuk memahami agama secara teologis, tapi juga diarahkan untuk mengamalkannya dalam relasi sosial, ekonomi, dan politik. Dengan demikian, tafsir ini menjadi jembatan antara teks wahyu dan realitas umat.
Lebih lanjut, Ridhan mencatat bahwa Zainuddin Hamidy bukan hanya seorang mufasir, tetapi juga seorang pendidik dan aktivis dakwah yang sangat berpengaruh di Sumatera Barat. Kiprah beliau di dunia pendidikan melalui Ma’had Islamy serta peran sosial-politiknya melalui Masyumi menunjukkan bahwa penafsiran yang ia lakukan bukan sekadar produk akademik, tetapi bagian dari gerakan pembinaan umat. Maka dari itu, Tafsir Qurän menjadi sangat kontekstual, hidup, dan membumi, karena lahir dari pengalaman langsung di tengah umat.
Kesimpulan dari penelitian ini menegaskan bahwa Tafsir Qurän karya Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs. merupakan contoh penting tafsir ijtima’i dalam konteks Indonesia modern. Tafsir ini menempatkan Al-Qur’an sebagai pedoman yang relevan dan aplikatif dalam menjawab persoalan sosial. Skripsi Ridhan Fauzi memberikan kontribusi awal dalam studi tafsir lokal Indonesia, serta membuka peluang penelitian lanjutan terhadap karya-karya tafsir lain yang lahir dari dinamika sosial umat Islam Nusantara.
Dalam skripsinya, Ridhan Fauzi mencatat beberapa karya penting H. Zainuddin Hamidy selain Tafsir Qurän (ditulis bersama Fachruddin Hs., terbit 1959). Di antaranya: Kitab Musthalah Hadits (sebagai bahan ajar di Training College dan PGA), Terjemah Shahih Bukhari (1981), 40 Hadis Pilihan dengan Sejarahnya (1980), serta Terjemah Hadis Qudsi dari kitab Al-Ithāfāt al-Tsaniyyah bi al-Āhadits al-Qudsiyyah. Ia juga menerjemahkan Hadis Arba’in karya Imam Nawawi. Beberapa karyanya yang lain disebutkan telah hilang atau musnah akibat pendudukan Belanda dan Jepang yang merusak rumah dan pesantren miliknya.
Akhir Pengabdian
Beliau meninggal dunia pada hari Jumat, 29 Maret 1957, secara mendadak. Hanya beberapa hari sebelumnya, ia masih terlihat sehat dan aktif berdakwah menyambut Ramadan. Bahkan baru saja ia kembali dari pertemuan dengan Presiden Sukarno di Jakarta sebagai anggota Dewan Banteng. Maka berita kematiannya membuat semua orang terguncang—dari keluarga, teman, murid, hingga warga Payakumbuh. Kota itu menjadi muram, seolah ditimpa bencana besar. Isak tangis mengiringi jenazahnya menuju liang lahat.
Kepergian Zainuddin Hamidy merupakan kehilangan besar bagi umat Islam Indonesia, khususnya bagi keluarga besar Masyumi dan dunia pendidikan Islam. Abbas Hassan, sang penulis kenangan ini dalam majalah Hikmah No. 14-15 (X/1957), mengajak kita semua untuk tidak larut dalam kesedihan, tetapi melanjutkan perjuangan yang telah ia mulai. Dan kepada Allah, dipanjatkan doa: “Semoga segala amal ibadah almarhum diterima, dosanya diampuni, dan ditempatkan di Jannatul Makwa.” Amin ya Rabbal ‘Alamin.*