Temuan Beras Patah dalam Produk Premium yang Mencengangkan
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, mengungkapkan adanya temuan yang mengejutkan terkait kandungan beras patah dalam produk beras premium medium. Dalam pemeriksaan terhadap 10 sampel beras premium medium, ditemukan bahwa campuran beras patah mencapai angka yang sangat tinggi, yaitu antara 30 hingga 59 persen. Padahal, standar yang ditetapkan oleh pemerintah menyebutkan bahwa beras premium medium hanya boleh mengandung maksimal 15 persen beras patah.
“Kami ambil 10 (sampel), itu brokennya 30-59 persen,” ujar Andi Amran ketika diwawancarai dalam konferensi pers terkait Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan Nota Keuangan Tahun Anggaran 2026 di Jakarta.
Temuan ini tentu merugikan konsumen yang membeli beras premium medium karena barang yang mereka beli tidak sesuai dengan kualitas yang diharapkan. Bahkan, kualitasnya jauh di bawah kriteria yang telah ditetapkan untuk kategori beras premium. Menurut Amran, temuan ini bisa dikategorikan sebagai “ekstrem” karena tingginya persentase campuran beras patah yang ditemukan pada produk yang seharusnya memenuhi standar kualitas beras premium.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian juga sudah mengungkapkan dugaan adanya praktik manipulasi kualitas beras yang mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat. Estimasi kerugian mencapai Rp 99,35 triliun. Kementan menyatakan bahwa sebanyak 212 merek beras premium dan medium yang beredar di pasaran ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pihak kementerian berjanji untuk menindak tegas semua produk yang melanggar ketentuan tersebut.
Upaya Menciptakan Pasar yang Lebih Sehat dan Adil
Dalam upaya menanggulangi masalah ini, Andi Amran menjelaskan bahwa tindakan tegas terhadap peredaran beras oplosan bertujuan untuk menciptakan pasar yang lebih sehat dan adil. Salah satu dampak positif yang mulai terlihat adalah meningkatnya kepercayaan konsumen terhadap pasar tradisional. Pasar tradisional kini lebih diminati karena harga beras yang lebih murah, serta transparansi dalam hal kualitas dan harga yang ditawarkan. Di pasar ritel modern, harga beras premium bisa mencapai Rp17.000 hingga Rp18.000 per kilogram, sedangkan di pasar tradisional harga beras premium hanya sekitar Rp13.000 per kilogram.
Lebih lanjut, Andi Amran menceritakan bagaimana temuan beras oplosan ini berawal dari adanya keanehan dalam harga beras yang terjadi beberapa bulan terakhir. Meskipun harga beras di tingkat petani dan penggilingan turun, harga beras di tingkat konsumen justru mengalami kenaikan yang tidak sesuai dengan kondisi pasar. “Harusnya kalau petani naik, baru bisa naik di tingkat konsumen,” ujarnya menjelaskan kondisi tersebut. Sebagai langkah tindak lanjut, Kementerian Pertanian melakukan pengecekan terhadap 268 merek beras yang beredar di 10 provinsi penghasil beras terbesar di Indonesia.
Hasil Penyelidikan yang Mengkhawatirkan
Hasil pengecekan ini sangat mengkhawatirkan, karena ditemukan bahwa 85,56 persen beras premium yang diuji tidak memenuhi standar kualitas yang seharusnya. Bahkan, 59,78 persen beras tidak memenuhi ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET), dan 78,14 persen beras tidak sesuai dengan berat kemasan yang tercantum. Amran menambahkan bahwa temuan ini mencakup berbagai jenis kecurangan, mulai dari beras yang dioplos hingga beras curah yang dikemas dan dijual dengan harga premium.
Sebagai bagian dari langkah penindakan, Kementerian Perdagangan turut memberikan hasil pemeriksaan yang menunjukkan bahwa sembilan dari sepuluh merek beras yang diperiksa juga tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan. Sebagian besar dari produsen beras oplosan yang terlibat dalam praktik curang ini telah mengakui pelanggaran yang mereka lakukan. “Alhamdulillah, kemarin kami cek, merek yang sudah diumumkan itu sudah mulai sebagian menarik dan mengganti harganya sesuai standar dan kualitasnya sama,” kata Amran.
Pengawasan yang Lebih Ketat dan Stok yang Cukup
Dari 212 merek beras yang terbukti melanggar ketentuan, sebanyak 26 merek telah diperiksa, dan laporan yang diterima menunjukkan bahwa produsen-produsen tersebut telah mengakui kesalahan mereka. Dalam perkembangan terbaru, tingkat ketidakpatuhan terhadap HET masih terbilang cukup tinggi. Untuk beras medium, angka ketidakpatuhan sedikit menurun menjadi 91 persen, sedangkan sebelumnya mencapai 95 persen pada laporan hasil investigasi bulan Juni. Sementara itu, untuk beras premium, tingkat ketidakpatuhannya mengalami penurunan signifikan menjadi 43 persen, dari yang sebelumnya tercatat 60 persen.
Amran juga menegaskan bahwa pemerintah memiliki cukup stok beras untuk mengatasi potensi gangguan pasar akibat kasus beras oplosan ini. “Kalau stoknya 1 juta, pasti pemerintah tidak berani melakukan perbaikan. Tapi Alhamdulillah, stok kita cukup, sehingga kami perbaiki,” ujarnya dengan optimis. Pemerintah berharap dengan adanya perbaikan dalam pengawasan dan penindakan yang tegas terhadap pelanggaran kualitas beras, distribusi beras di Indonesia dapat menjadi lebih transparan, adil, dan menguntungkan bagi konsumen.