Infomalangraya.com,MABA– Max Poi, warga Desa Nyaolako, Kecamatan Wasile Tengah, Halmahera Timur, Maluku Utara menceritakan pertemuan awalnya dengan bayi dugong.
Semua bermula pada tahun 2016, ketika Max Poi pergi menjaring ikan di tanjung, dekat desanya. Disitulah ia menemukan seekor bayi dugong yang tersesat di perairan Halmahera Timur.
“Awalnya torang (kami) pergi ba soma (menjaring) ikan di sekitar tanjung yang banyak ikan. Disitu saya menemukan bayi Dugon,” kata Max Poi saat ditemui Infomalangraya.com, Selasa (14/10/2025).
Kata Max Poi, saat ditangkap, bayi dugong tidak memberikan perlawanan. Ia kemudian mengikat bayi dugong menggunakan tali, lalu dibawa ke pesisir Pantai Nyaolako.
“Namun dia (bayi dugong,red) sepertinya dia menangis kalau ibarat manusi begitu. Dan kemudian dibawa, tapi ada teman yang bilang kita jadikan lauk buat dimakan tapi saya bilang jangan,” terangnya.
Karena iba, Max Poi melepaskan dugong kembali ke pantai setelah 1 bulan merawatnya.
“Sebenarnya tidak dilepas dugong itu. Namun ada orang-orang yang sengaja dorang (Mereka) kasih putus talinya karena itu hewan dilindungi,” ujarnya.
Setelah dilepaskan, bayi dugong kembali muncul di permukaan dan mendekati Max Poi. Ia pun merasa gembira.
Max Poi yang dijuluki “Pawang Dugong” itu, tak menyangka ia telah memelihara dugong sudah selama sembilan tahun.
Kini, dugong yang dulu ditemui Max Poi berukuran kecil telah bertumbuh besar, dan diperkirakan berusia 19 tahun.
“Untuk jenis kelamin dugong jantan, kemudian kalau dugong ini tidak ada nama khusus, biasa cuma hanya disebut Ikan duyung atau dugong,” ucapnya.
Kata Max Poi, dugong biasanya muncul ketika ada wisatawan di Pantai Nyaolako.
“Dugong ini kalau ada pengunjung wisata di Pantai Nyaolako, dia akan muncul menampakkan diri. Kalau tidak, biasanya saya yang panggil pasti dia datang muncul ke permukaan air laut,” tandasnya.
Dugong tersebut sempat viral setelah Gubernur Maluku Utara, Sherly Laos, menjumpainya saat menyelam di Pantai Nyaolako.
Apa itu Dugong ?
Dugong adalah mamalia air dengan ukuran raksasa dan warna cenderung abu-abu. Menurut laman Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, dugong mempunyai nama ilmiah Dugong dugon.
Mengutip dari tulisan Dugong Bukan Putri Duyung yang diterbitkan oleh Oseanografi LIPI, IUCN (International Union for the Conservation of Nature) menyatakan bahwa dugong sudah rentan punah.
Hewan ini juga merupakan satwa dilindungi, seperti disebutkan dalam Undang-undang No. 7 tahun 1999 tentang Konservasi Flora dan Fauna.
Sebagai hewan yang langka, menurut KKP RI, dugong tersebar di perairan Indo Pasifik, Afrika Timur, bahkan hingga Kepulauan Solomon.
Hewan ini berukuran cukup raksasa dengan panjang sekitar 2,4 hingga 3 meter dan berat 230 sampai 930 kilogram.
Ketika lahir, dugong sebetulnya mempunyai warna krem pucat. Namun, semakin tua usianya, warna mamalia laut satu ini akan cenderung menjadi lebih gelap sampai abu-abu gelap di bagian punggungnya.
Selain warna yang cenderung abu-abu saat tua, ciri-ciri dugong yang lain adalah adanya sirip sepanjang 35 hingga 45 cm. Pada dugong yang masih muda, sirip berfungsi sebagai pendorong, sedangkan pada dugong dewasa, sirip berfungsi sebagai kemudi.
Adapun ekor yang dimiliki hewan ini berfungsi sebagai pendorong dan mempunyai bentuk homo cercal. Mamalia satu ini mempunyai rentang hidup sangat lama, yaitu mulai 40 hingga 70 tahun.
Dugong mempunyai proses pencernaan yang sangat lambat. Sehari-harinya, hewan herbivora ini mencari makan di padang lamun.
Kembali melansir dari Dugong Bukan Putri Duyung oleh Oseanografi LIPI, dugong suka merumput lamun di dasar laut. Tumbuhan ini berada di perairan dangkal dan terlindung dasar pasir atau lumpur.
Di Indonesia, jenis yang suka dikonsumsi oleh dugong adalah yang berasal dari genus halodule dan halophila. Kedua jenis lamun ini punya kadar nitrogen tinggi, dan rendah serat sehingga cocok untuk dugong.
Mengutip dari KKP, dalam sehari dugong atau yang sering disebut juga sebagai duyung ini mampu menghabiskan lamun sebanyak 25 hingga 30 kilogram. Karena itulah, keberadaan padang lamun sangat penting bagi dugong.
Sebagai satwa yang dinyatakan rawan punah, dugong betina hanya mampu melahirkan satu ekor bayi dugong dalam satu kali proses reproduksi. Bayi dugong ini kemudian akan disusui oleh ibunya selama 1 sampai 2 tahun.
Jarak antar proses reproduksi seekor dugong betina mempunyai rentang dari 2,5 hingga 7 tahun. Untuk diketahui juga, posisi celah kelamin adalah satu-satunya pembeda antara dugong jantan dan betina.
Ini dikarenakan dugong jantan dan betina mempunyai bentuk luar yang sama (monomorphic). Posisi celah kelamin dugong betina lebih dekat daripada dugong jantan
Mengutip dari WWF Indonesia, hewan langka ini menghadapi berbagai ancaman seperti perburuan skala lokal yang ditujukan untuk memanfaatkan daging, taring, dan air matanya. Selain itu, dugong juga menghadapi ancaman lain berupa terperangkap jaring nelayan atau juga tertabrak kapal wisatawan dan nelayan.
Air mata dugong diburu sebagai bagian dari kepercayaan masyarakat, padahal air mata dugong hanya merupakan lendir alami yang dikeluarkan saat ia tidak di air. Dan seperti yang disebutkan sebelumnya, berkurangnya padang lamun juga mengancam keberlangsungan dugong. (*)