Sumber gambar, Getty Images
Para pekerja sedang menurunkan salah-satu bagian rangkaian kereta cepat buatan China di di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 2 September 2022.
Indonesia disebut harus menjadikan kasus Kereta Cepat Jakarta-Bandung sebagai pelajaran agar tidak asal menggarap proyek infrastruktur yang tidak menghasilkan dan akhirnya terancam terperangkap dalam jebakan utang China.
Pengamat ekonomi dari Indef, Rizal Taufikurahman, berkata ada kemungkinan pengelolaan kereta cepat ini diambil alih oleh China jika Indonesia dinyatakan gagal bayar utang.
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Panjaitan menyebut China hanya mau menurunkan bunga utang proyek kereta cepat menjadi 3,4% dari total pinjaman sebesar Rp8,3 triliun.
Proyek kereta cepat pertama di Indonesia yang menghubungkan Jakarta-Bandung masih menyisakan masalah.
Mulai dari target pembangunan yang molor, pembengkakan biaya proyek sebesar Rp18 triliun, dan kini bunga pinjaman yang dinilai pemerintah terlalu memberatkan.
Pengamat ekonomi dari Intitute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rizal Taufikurahman, mengaku sudah memprediksi proyek ini bakal bermasalah.
“Iya, karena dari perencanaan awal terjadi pembengkakan biaya, minta bantuan ke APBN sekitar Rp17 triliun lewat penyertaan modal negara. Ini kelihatan tidak matang dari sisi perencanaan,” ujar Rizal kepada BBC News Indonesia, Kamis (13/04).
“Tiba-tiba harga pembebasan tanah jadi naik karena jalurnya masuk ke lahan produktif,” sambungnya.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung ini mulanya diperkirakan menelan biaya Rp86,67 triliun.
Tapi belakangan terjadi pembengkakan atau cost overrun (kelebihan biaya) menjadi Rp114,24 triliun pada tahun 2021.
Kementerian BUMN menyebut pembangkakan tersebut adalah hal wajar karena situasi pandemi Covid-19 yang berdampak pada kemampuan keuangan konsorsium proyek kereta cepat.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Pekerja melakukan pemasangan rel Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Stasiun Halim, Jakarta Timur, Jumat (31/3/2023).
Untuk diketahui, komposisi pembiayaan proyek ini adalah 75% berasal dari pinjaman melalui China Development Bank (CDB) dan sisanya merupakan setoran modal dari konsorsium dua negara yaitu Indonesia-China.
Pembagiannya, konsorsium BUMN Indonesia menyumbang 60% dan 40% berasal dari konsorsium China.
Total pinjaman Indonesia ke China Development Bank (CDB) mencapai Rp8,3 triliun. Utang itu akan dipakai untuk pembiayaan pembengkakan biaya kereta cepat.
Hanya saja, bunga yang ditawarkan oleh China adalah 3,4% per tahun dengan tenor selama 30 tahun.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Panjaitan, mengatakan China enggan menurunkan bunga pinjaman menjadi 2% dengan tenor selama 40 tahun – yang merupakan skema pembiayaan awal.
Kendati dianggap memberatkan, Luhut mengatakan bunga utang yang dipatok China itu “tidak masalah” karena Indonesia memiliki kemampuan untuk membayar dan melunasi pinjaman dari pajak.
“Jangan under estimate Indonesia semakin baik loh. Kamu lihat penerimaan pajak naik 4,8 persen karena banyak di Indonesia ini batu bara,” ucap Luhut.
Akan tetapi Rizal Taufikurahman menyebut klaim Luhut itu “harus dipertimbangkan lagi”.
Sebab tax ratio atau target penerimaan pajak pada 2023 sebesar Rp2.021,2 triliun atau turun 0,66% dari realisasi penerimaan pajak pada 2022.
Selain itu, Kementerian Keuangan juga sedang dilanda persoalan terkait transaksi janggal sebesar Rp349 triliun sehingga dipastikan bakal ‘mengganggu’ penerimaan pajak.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberikan sambutan saat peresmian penyelesaian peletakan rel Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Stasiun Halim, Jakarta Timur, Jumat (31/3/2023).
Apa dampaknya jika tak bisa bayar utang?
Rizal Taufikurahman menilai bunga pinjaman yang dipatok China sebesar 3,4% “tidak bijak” karena prospek bisnis pengoperasian kereta cepat belum tentu menguntungkan.
Belum lagi ongkos pengelolaan yang tidak murah.
Dengan segala pertimbangan itu, konsorsium Indonesia dipastikan bakal kesulitan membayar utang tersebut sehingga ujung-ujungnya mengandalkan APBN.
“Mau tidak mau [pakai APBN] karena konsorsium Indonesia misalnya hanya bisa membayar bunga utang yang 2 persen, selebihnya yang 1,4 persen ditanggung APBN.”
Sementara kondisi APBN sudah sangat terbebani dengan besaran utang yang kian membengkak. Apalagi kalau nanti harus ikut menanggung pembiayaan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Suasana terowongan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang telah rampung di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (7/3/2023).
Kata dia, konsekuensi terburuk kalau sampai Indonesia gagal membayar utang, maka pengelolaan kereta cepat diambil alih sepenuhnya oleh China.
Pasalnya China berkeras minta agar APBN menjadi penjamin untuk pinjaman proyek kereta cepat.
“Kalau sudah pakai APBN ya bukan business to business lagi. Prinsip itu yang harus dipegang. Tapi China ingin kepastian bisa terbayar enggak utangnya? Kalau dianggarkan di APBN kan jelas pasti dibayar.”
Menanggapi permintaan China itu, Luhut mengaku telah menolaknya.
Ia merekomendasikan penjaminan dilakukan melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII).
Terperangkap jebakan utang China?
Pemerintah disarankan menguatkan lobi ke China agar kembali ke proposal awal pembiayaan di mana bunga pinjamannya sebesar 2% dengan tenor selama 40 tahun.
Jangan sampai, kata Rizal Taufikurahman, Indonesia mengalami situasi yang sama seperti Sri Lanka.
Pelabuhan internasional Hambantota yang terletak di sepanjang pantai selatan pulau Samudra Hindia itu diambil alih oleh China sebagai imbalan atas utang yang diberikan sebesar US$ 1,1 miliar.
Pasalnya sesuai kesepakatan China memiliki 85% saham dari pelabuhan dan berhak mengantongi sewa dari pelabuhan itu selama 99 tahun.
“Jangan sampai Indonesia seperti itu, investasi infrastruktur tidak menghasilkan,” ujarnya.
“Karena klausul perjanjian di Sri Lanka dan Indonesia enggak mungkin jauh beda meskipun business to business,” sambung Rizal.
Sejumlah pengamat sudah memperingatkan mengenai apa yang disebut “jebakan utang”, yaitu ketika pemberi pinjaman – seperti pemerintah China – dapat mengambil konsesi ekonomi atau politik jika negara yang menerima investasi tidak dapat membayarnya kembali.
Bagaimana perjalanan pembangunan kereta cepat di Indonesia?
Kereta cepat Jakarta-Bandung sebenarnya pertama kali diajukan oleh Jepang.
Melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), mereka telah menggelontorkan modal sebesar US$ 3,5 juta pada 2014 untuk mendanai studi kelayakan.
Nilai investasi kereta cepat berdasarkan hitungan Jepang mencapai US$ 6,2 miliar atau setara dengan Rp91 triliun, di mana 75% dibiayai oleh Jepang berupa pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 0,1% per tahun.
Namun di tengah lobi Jepang, China tiba-tiba muncul dan melakukan studi kelayakan yang didukung oleh Menteri BUMN saat itu Rini Soemarno.
China lantas menawarkan nilai investasi lebih murah sebesar US$ 5,5 miliar atau setara Rp81 triliun dengan skema investasi 40% kepemilikan China dan 60% konsorsium BUMN serta sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2% per tahun.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Pekerja melakukan pemasangan rel Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Stasiun Halim, Jakarta Timur, Jumat (31/3/2023).
China juga menjamin pembangunan proyek ini tidak akan menguras dana APBN Indonesia.
Tawaran China itu diterima Indonesia dengan menerbitkan Perpres Nomor 107 Tahun 2015.
Pembangunan kereta cepat pun dimulai pada 2016 dan ditargetkan rampung pada 2018 sehingga bisa mulai beroperasi pada 2019.
Hingga akhir Maret 2023, progres pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung sudah mencapai 88,8% dan dijadwalkan akan diresmikan pada Agustus 2023.
Apakah Indonesia membutuhkan kereta cepat?
Suara keberatan atas pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung sudah mengemuka sejak proyek ini dicetuskan.
Pegiat dan peneliti transportasi, pelaku bisnis, dan masyarakat mempertanyakan prioritas rencana ini di antara target Presiden Jokowi membangun infrastruktur di luar Pulau Jawa.
Ketua Institut Studi Transportasi Darmaningtyas, mengatakan, negara-negara lain yang biasanya membangun kereta berkecepatan tinggi akan mempertimbangkan masalah mobilitas.
Namun, jalur Jakarta-Bandung sebenarnya sudah dilayani oleh jaringan kereta api dan memiliki jalan tol yang kondisinya relatif bagus.
Selain itu, menurut Darmaningtyas, waktu perjalanan yang nantinya hanya 37 menit saja menggunakan kereta cepat sebenarnya tak menawarkan keunggulan baru.
Alasannya, kemacetan di dalam kota, baik di Jakarta maupun Bandung, malah menyulitkan orang untuk datang ke stasiun dan menaiki kereta.
“Jadi sama saja antara perjalanan saya ke stasiun untuk naik kereta cepat ke Bandung dengan saya naik mobil sendiri langsung dari Jakarta menuju Bandung,” katanya.