InfoMalangRaya, Indonesia – Timnas U-23 Indonesia akan melawan timnas U-23 Thailand pada semifinal Piala AFF U-23 2023, Kamis (24/8/2023) malam nanti. Thailand berstatus juara Grup A, sedangkan Indonesia adalah runner-up terbaik yang datang dari Grup B.
Pertemuan kedua tim menjanjikan pertarungan menarik. Maklum saja, tiga bulan lalu, kedua tim bersua di final SEA Games XXXII. Dalam laga yang panas, Indonesia menang 5-2 atas Thailand lewat perpanjangan waktu.
Tak sedikit orang menjadikan hasil final SEA Games lalu itu sebagai rujukan untuk laga nanti. Namun, seperti dikatakan Issara Sritaro, pelatih timnas U-23 Thailand, setiap laga pasti berbeda.
Jika dibandingkan, memang ada banyak perbedaan antara laga final SEA Games dengan semifinal Piala AFF U-23 2023 ini. Komposisi tim jelas berbeda. Lalu, Indonesia kini ditangani Shin Tae-yong, bukan lagi Indra Sjafri.
Dari berbagai perbedaan yang ada, satu yang paling menarik untuk dibahas adalah soal kompsisi tim. Di Piala AFF U-23 kali ini, Changsuek Muda menunjukkan kedalaman skuad luar biasa yang patut ditiru Indonesia.
Timnas U-23 Thailand Pakai Semua Pemain
Satu hal mencolok dari kedalaman skuad timnas U-23 Thailand adalah fakta semua pemain sudah diberi menit bermain oleh pelatih Issara Sritaro. Rotasi besar selalu dilakukan dalam setiap laga pada fase grup.
Sementara itu, Shin Tae-yong di timnas U-23 Indonesia sama sekali tak menurunkan 3 dari 21 pemain yang ada di skuad setelah Komang Teguh dan Titan Agung dipulangkan. Lalu, satu pemain hanya jadi cameo.
Jika dibandingkan secara seimbang, dalam dua laga awal, hanya dua pemain Thailand yang tak tampil. Itu pun salah satunya belum bergabung karena masih memperkuat klub di pentas Thai League 1.
Perbedaan lain adalah jumlah pemain yang selalu jadi starter. Di kubu Changsuek Muda, hanya Kasidit Kalasin dan Pattara Soimalai yang selalu masuk starting XI. Pada dua laga awal pun hanya mereka yang selalu jadi starter.
Bagaimana dengan Indonesia? Pada fase grup, 7 dari 11 pemain selalu turun sebagai starter. Mereka adalah Ernando Ari, Bagas Kaffa, Frengky Missa, Beckham Putra, Arkhan Fikri, Ramadhan Sananta, dan Kadek Arel.
Pool Besar Thailand
Fakta semua pemain sudah diberi menit bermain dan 22 di antaranya pernah jadi starter menyiratkan pool besar pemain yang dimiliki Thailand. Pelatih Issara Sritaro tak cemas karena menilai kualitas pemainnya relatif sama.
Jika ditarik lebih ke belakang, gambaran pool pemain yang besar itu makin jelas terlihat. Patut dicatat, dari tim yang menembus SEA Games XXXII, karena berbagai sebab, Issara hanya bisa membawa 4 pemain ke timnya saat ini.
Sementara itu, Indonesia diperkuat 9 eks SEA Games XXXII. Itu setelah dikurangi Komang Teguh dan Titan Agung yang dipulangkan. Padahal, pelatih Shin Tae-yong selalu mengeluh seolah paling menderita soal tim yang tak lengkap.
Indonesia sebetulnya tak kekurangan pemain U-23. Apalagi regulasi Liga 1 2023-24 mengharuskan klub-klub untuk menurunkan setidaknya 1 pemain sebagai starter dan tampil setidaknya 45 menit.
Masalahnya, Shin Tae-yong terkesan tak mau melebarkan pool. Salah satu buktinya, dia malah berusaha mendatangkan Marselino Ferdinan saat Komang Teguh dan Titan Agung dinyatakan tak dapat tampil.
Lo Lagi Lo Lagi
Selama ini, karena Shin Tae-yong dipercaya menangani tiga tim sekaligus, ada kesan pemain yang tampil membela Indonesia itu lo lagi lo lagi alias itu-itu saja. Itu karena irisan antartim yang terbilang besar.
Contoh paling ekstrem adalah Marselino Ferdinan dan Ronaldo Kwateh. Tahun lalu, keduanya tampil untuk empat tim sekaligus. Mereka membela timnas Indonesia, tim U-23, tim U-20, dan tim U-19.
Seorang pemain membela tiga hingga empat tim di kancah internasional adalah hal luar biasa dan istimewa. Lionel Messi saja tak pernah merasakan hal itu. Satu pemain yang pernah mengalami hal serupa adalah Joel Campbell pada 2011.
Tentu saja ada banyak alasan yang mendasari hal itu. Namun, tetap saja, dalam bingkai penyusunan piramida timnas, itu tidak bagus. Idealnya, semakin ke bawah, pool yang ada semakin besar dan sebaliknya tak ada irisan. Itulah yang kita lihat di negara-negara maju.
Saat ini, fenomena yang ada sungguh ironis. Untuk membentuk tim U-17 yang akan berlaga di Piala Dunia U-17 saja, PSSI sampai menggelar seleksi di 12 kota. Seleksi itu pun, menurut beberapa pengamat, tidaklah proper.
Berpaling ke Luar?
Pada akhirnya, kita kembali bicara soal pembinaan usia muda dan grassroot yang buruk di Indonesia. Itu tak bisa dimungkiri dan ditutup-tutupi karena sudah menjadi masalah akut dan cenderung diabaikan.
Hingga kini, Ketum PSSI Erick Thohir tak pernah membeberkan visi dan gebrakan nyata soal pengembangan usia muda dan grassroot. Bahkan gaung Elite Pro Academy yang kabarnya akan digelar September nanti belum benar-benar terdengar.
Gaung soal pembinaan usia dini kalah nyaring dari misi scouting pemain-pemain diaspora di luar negeri. Tidak ada yang salah dengan hal itu karena mereka juga memang punya hak untuk membela timnas Indonesia.
Akan tetapi, ketika dilakukan secara gencar tanpa dibarengi pembenahan nyata terhadap sektor usia muda di dalam negeri, langkah itu tak ubahnya hanya buang badan dan potong kompas.
Satu lagi, itu seperti mencerminkan PSSI sudah menyerah dalam hal yang satu ini. Ataukah memang memanfaatkan akademi-akademi di luar negeri jadi kebijakan utama PSSI soal pembinaan usia muda?