Kekerasan terhadap Tempat Ibadah di Indonesia
Beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia masih belum bisa melupakan kejadian pengusiran dengan kekerasan terhadap aktivitas retret pemuda Kristen di Cidahu, Sukabumi, pada 26 Juni. Kejadian serupa kembali terjadi di Koto Tengah, Padang, Sumatera Barat, yang menunjukkan bahwa masalah intoleransi dan diskriminasi terhadap umat beragama minoritas masih terus berlangsung.
Sebuah Rumah Doa milik Jamaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) dirusak oleh massa, sehingga mengakibatkan kaca rumah doa pecah, listrik diputus, fasilitas rusak dan dihancurkan. Bahkan, dua anak kecil terluka dalam kejadian ini, serta menimbulkan rasa takut dan ketidakamanan di kalangan warga setempat.
Anggota Komisi XIII DPR RI sekaligus Ketua DPD PDI Perjuangan Sumut, Drs Rapidin Simbolon MM, menyampaikan bahwa Indonesia tidak pernah adil bagi orang-orang dari kelompok minoritas. Mereka selalu mendapat perlakuan diskriminatif, dihina, tempat ibadah mereka dirusak, dilarang membangun tempat ibadah, bahkan berdoa bersama saja dianggap sebagai kesalahan.
“Ini sangat diskriminatif. Di mana pihak berwajib? Di mana pemerintah? Mengapa mereka semua seolah tutup mata melihat hal ini? Jawabannya biasanya pemerintah hanya berdalih jika tindakan diskriminatif tersebut akibat salah paham dan pelaku lagi dan lagi bebas tanpa dihukum,” ujar Rapidin dalam keterangan tertulisnya.
Ia menegaskan bahwa Indonesia bukan negara yang hanya memperbolehkan satu agama saja, baik itu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, maupun agama lainnya. Setiap warga berhak memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing, yang dijamin oleh UUD 1945.
“Tindakan intoleransi seharusnya tidak ada lagi, tetapi yang sering terjadi justru sebaliknya. Negara ini bukan berlandaskan satu agama, tetapi berlandaskan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika,” tegas mantan Bupati Samosir ini.
Ia juga menanyakan makna kemerdekaan jika untuk beribadah saja, umat minoritas masih merasa tidak aman karena seringkali terancam keselamatannya akibat teror. “Padahal mereka hanya ingin berdoa saja,” tambahnya.
Rapidin menyoroti bahwa tindakan intoleransi yang berkelanjutan merupakan hasil dari ketidaktegasan pemerintah dan hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus seperti ini. Akibatnya, pelaku teror merasa aman dan bahkan dilindungi atas nama salah paham belaka.
Menurutnya, perilaku buruk semacam ini digerakkan oleh kesadaran yang anti-Pancasila. “Banyak ratusan kali kejadian seperti ini terjadi di Indonesia. Namun para kaum intoleran ini selalu bebas melenggang, bahkan merasa tindakan mereka benar, sehingga merusak tempat ibadah orang Kristen dianggap sebagai tindakan wajar tanpa pernah disentuh hukum.”
Ia menilai bahwa pemerintah dari zaman SBY, Jokowi hingga Prabowo sekarang tidak pernah bertindak serius menangani masalah seperti ini. “Saya tidak berharap lebih, karena memang mereka pasti diam saja. Saya hanya berharap biarlah hukum alam yang bertindak.”