Jember (IMR) – Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Kabupaten Jember meminta penikmat dan pelaku sound horeg menghargai kritik publik. Mereka juga meminta pemerintah daerah dan kepolisian daerah bersikap tegas.
“Tegas tidak berarti otoriter dan bijaksana bukan berarti permisif. Di tengah budaya populer yang cepat berubah, negara harus menjadi wasit yang adil bukan pemadam kebakaran, tetapi arsitek kebudayaan,” kata Pelaksana Tugas Ketua DPC Partai Demokrat Jember Mahathir Muhammad, Kamis (24/7/2025).
Mahathir mengingatkan, bahwa sound horeg adalah kombinasi dari sound system bertenaga tinggi, dentuman bass ekstrem, dan sering kali dikemas dalam konteks hajatan, arak-arakan, hingga konvoi jalanan yang tidak terkendali.
“Volume suara yang bisa menembus 135 desibel. Setara dengan suara pesawat jet dari jarak dekat, menjadikannya tidak hanya mengganggu, tetapi juga berbahaya secara medis,” kata Mahathir.
Menurut Mahathir, dampaknya terhadap kesehatan mungkin tidak langsung terasa dalam waktu dekat. “Ttapi bersifat jangka panjang dan akumulatif. Tak hanya membahayakan kesehatan manusia, gelombang suara berkekuatan tinggi juga dapat merusak struktur bangunan dan mengganggu ekosistem hewan di sekitarnya,” katanya.
Mahathir memahami dan menghargai sound horeg sebagai bentuk budaya kontemporer. “Fenomena sound horeg adalah cermin dari dinamika masyarakat yang berubah cepat yang tumbuh di antara celah budaya, ekonomi, dan teknologi yang saling silang,” katanya.
“Sebaliknya, penikmat sound horeg juga harus memahami dan menghargai pendapat pihak yang mengkritiknya,” kata Mahathir.
Pria berkacamata ini menegaskan, bahwa setiap ekspresi kebebasan tetap harus tunduk pada batas-batas etika, norma, moral dan kepentingan umum. Dalam hal ini, pemerintah daerah dan kepolisian harus mampu membangun ekosistem regulasi yang partisipatif dan edukatif.
“Aturan harus disusun secara adil dan proporsional. Momentum penertiban sound horeg ini jadi pijakan awal untuk mengatur seluruh bentuk aktivitas publik yang berpotensi menimbulkan polusi suara dan mengganggu ketertiban umum,” kata Mahathir.
Mahathir mengusulkan penetapan ambang batas volume suara maksimal untuk kegiatan publik dan kewajiban izin resmi bagi penggunaan sound system di ruang terbuka. “Selain itu, perlu ada penentuan zona atau wilayah larangan dan jam tenang atau noise curfew,” katanya.
Mahathir juga mengusulkan perlunya pengintegrasian nilai-nilai edukasi tentang bahaya kebisingan dalam kurikulum sekolah dan kegiatan karang taruna. “Wajibkan proses perizinan melalui musyawarah warga yang berada di radius dekat lokasi acara dan buat aturan larangan peredaran minuman beralkohol dan pertunjukan tarian tidak senonoh,” katanya.
Mengatur budaya, menurut Mahathir, bukan berarti mematikan kreativitas. “Ini menjaga agar ekspresi budaya tetap hidup tanpa melukai kepentingan bersama. Apalagi, budaya bukan sekadar kebiasaan sosial, tetapi juga merupakan pondasi sekaligus cerminan peradaban,” katanya.
“Saat negara, masyarakat, dan agama bertemu dalam satu simpul menjaga ketenangan tanpa mematikan kreativitas di situlah letak keadaban kita sebagai bangsa,” pungkasnya. [wir]