DIK UB Gelar Bonsai Bersama Pakar. Bahas Soal Panas Bumi

MALANG RAYA183 Dilihat

InfoMalangRaya – Universitas Brawijaya melalui Divisi Informasi dan Kehumasan (DIK UB), kembali menggelar Bincang dan Obrolan Santai (BONSAI) bersama pakar, Jumat, (24/11/2023), di Agro Technopark (ATP) UB Cangar Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu.

Pada Bonsai kali ini, narasumbernya adalah  Prof. Ir. Sukir Maryanto, S.Si., M.Si., Ph.D., guru besar bidang Ilmu Vulkanologi dan Geothermal Universitas Brawijaya (UB), yang dikukuhkan pada Oktober 2019.

Dalam kegiatan yang mengangkat tema: “Pemikiran Berkelanjutan Hidup Harmoni dengan Gunung Api dan Panas Bumi” tersebut, merupakan starting point dari serangkaian rencana penulisan buku serupa, untuk kawasan yang berbeda.

Di awal materinya Prof. Sukir mengatakan, karena di Jawa Timur atau Indonesia pada umumnya, potensi panas bumi sekitar 80 persen merupakan panas bumi yang berasosiasi dengan gunung api. Sehingga perlu dibukukan semua potensi yang ada. Agar keberlanjutan dan kebermanfaatan bidang ini akan terjamin.

Prof Sukir juga membicarakan keberadaan gunung api, yang bisa memberikan berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat sekitar. Baik dampak positif maupun dampak negatif.

Dampak positifnya antara lain, sebagai sumber kehidupan (gunung, sungai, ekologi, dan mata air), penyedia potensi panas bumi, sumber penyedia unsur-unsur mineral dan hara dalam menyuburkan tanah. Serta sumber tambang dan sebagai sumber penunjang ekonomi masyarakat (pariwisata, pertanian, UMKM, dll).

Meskipun banyak dampak positifnya, namun perlu juga diperhatikan dampak negatifnya. Sehingga keberadaan kedua potensi tersebut, harus disikapi dengan bijak.

SANTAI: Awak media yang mengikuti kegiatan bersama Divisi Informasi dan Kehumasan Universitas Brawijaya. (Foto: M. Abd. Rahman Rozzi/InfoMalangRaya)

Hal ini memberikan tantangan tersendiri, karena belum optimalnya pengelolaan potensi sektoral di kawasan kaki gunung api. Serta belum masifnya terkait monitoring kebencanaan kawasan gunung api.

“Jadi diperlukan kebijakan yang seimbang dalam segala aspek terkait dengan pengelolaan dan pengembangan kawasan gunung api,” urainya

Prof. Sukir menjelaskan, hidup berdampingan dengan gunung berapi, perlu adanya kesadaran dari dalam diri masyarakat maupun semua stake holder terkait kebencanaan.

Dengan kata lain, kesadaran kebencanaan secara berangsur, harus diubah menjadi budaya sadar bencana pada segenap lapisan masyarakat dan lintas sektoral dan lintas.

Untuk mengubah kesadaran diri, menjadi suatu budaya terhadap kebencanaan, dibutuhkan usaha yang sangat besar. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk school watching dan town watching.

“School watching kan lingkupnya di sekolah. Kalau town watching kan lingkupnya di kota atau desa mereka sendiri.”

“Maksudnya adalah, masyarakatlah yang bisa mengamati potensi bahaya. Kita yang ahli bencana pada saat terjadi bencana, tidak berada di tempat tersebut,” tandasnya.

Oleh karena itu, masyarakatlah yang paham, masyarakat yang bisa, masyarakat yang tahu karakternya, yang bisa mengevakuasi dirinya sendiri, ketika ada bencana. Karena mereka yang menghadapinya sendiri.

Prof. Sukir menambahkan, pengetahuan tentang mitigasi bencana, seharusnya menjadi program pemerintah.

Kalau perlu bisa dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dengan strategi. Jika belum bisa dinasionalkan, bisa dimulai dari kurikulum lokal (muatan lokal dengan kerjasama pada daerah-daerah yang bersedia sebagai perintis). (M. Abd. Rahman Rozzi)
The post DIK UB Gelar Bonsai Bersama Pakar. Bahas Soal Panas Bumi appeared first on infomalangraya.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *