Refleksi di Hari Disabilitas: Pentingnya Partisipasi dan Hak Penyandang Disabilitas
Hari Disabilitas menjadi momen penting untuk merenungkan peran serta penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan. Pemenuhan hak mereka telah dijamin melalui konstitusi, khususnya UUD 1945 yang menjelaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, martabat, dan perlindungan tanpa terkecuali. Namun, meskipun ada kerangka hukum yang kuat, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam masyarakat.
Tantangan Sosial dan Persepsi Keliru
Sayangnya, sinisme dan cara pandang keliru masih sering ditemukan dalam masyarakat. Dalam percakapan sehari-hari, penyandang disabilitas sering disebut sebagai “orang cacat” dan dianggap tidak produktif atau tidak mampu menjalankan tanggung jawab. Pandangan ini menyebabkan hak-hak mereka terabaikan dan menghambat partisipasi mereka dalam kehidupan sosial maupun pekerjaan. Akibatnya, gerakan panjang dilakukan untuk memperjuangkan persamaan hak dan aksesibilitas, baik fisik maupun nonfisik, agar penyandang disabilitas dapat menikmati layanan publik dan kesempatan yang setara dalam pendidikan, kehidupan bermasyarakat, hingga politik.
Konsep Disabilitas yang Lebih Humanis
Disabilitas kini dimaknai secara lebih humanis. Konsep ini menjelaskan interaksi antara individu dengan keterbatasan fisik atau mental dengan lingkungan yang menghambat partisipasi penuh mereka. Dengan kata lain, hambatan tersebut tidak hanya berasal dari kondisi internal seseorang, tetapi juga diciptakan oleh lingkungan sosial dan kebijakan yang belum inklusif. Pengakuan ini menegaskan bahwa tanggung jawab menghapus hambatan tersebut tidak hanya berada pada negara, tetapi juga masyarakat.
Prinsip HAM dan Kepatuhan Negara
Sikap masyarakat yang menghormati prinsip-prinsip HAM—seperti nondiskriminasi, kesetaraan kesempatan, dan penghormatan terhadap martabat manusia—adalah kunci dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Pemerintah pun wajib memastikan aksesibilitas fisik dan nonfisik tersedia, sehingga penyandang disabilitas mampu mengakses ruang publik, transportasi, pendidikan, informasi, komunikasi, serta layanan dasar lain secara setara dengan warga negara lainnya. Peningkatan kesadaran masyarakat dan komitmen negara adalah bagian dari upaya global untuk memastikan setiap orang dapat menikmati hak-hak paling hakiki, terlepas dari jenis dan tingkat keterbatasan yang dimiliki.
Ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas
Ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas menuntut Indonesia menyesuaikan berbagai produk hukum untuk memenuhi standar internasional. Prinsip-prinsip konvensi—seperti penghormatan martabat, kebebasan menentukan pilihan, partisipasi penuh dalam masyarakat, penerimaan keragaman manusia, kesetaraan kesempatan, serta perlindungan kapasitas anak penyandang disabilitas—harus menjadi jiwa dalam peraturan dan kebijakan nasional. Indonesia memang mendapat pengakuan internasional atas kemajuan dalam koordinasi nasional dan penyusunan sejumlah produk hukum, seperti Undang-Undang Penyandang Cacat, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan dan Gedung, serta berbagai peraturan menteri yang relevan untuk mendukung aksesibilitas.
Kritik dan Tantangan yang Masih Ada
Namun, kritik juga hadir. Salah satunya datang dari Munoz, peneliti PBB pada tahun 2007, yang menyoroti kurangnya kemauan politik Indonesia untuk mewujudkan pendidikan inklusif. Ia melihat adanya kesenjangan besar antara kerangka hukum yang menjamin pendidikan inklusif dengan sumber daya yang disediakan untuk merealisasikannya. Kondisi ini menunjukkan pekerjaan rumah masih panjang, terutama dalam memastikan inklusivitas benar-benar berjalan di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan.
Langkah Konkret dan Perubahan Mindset
Oleh karena itu, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas harus diarahkan untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi mereka secara penuh dan setara. Pemerintah memiliki kewajiban melakukan langkah konkret untuk menjamin akses terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi, serta layanan publik lainnya, baik di kota maupun desa. Hambatan apa pun yang menghalangi aksesibilitas harus diidentifikasi dan dihapuskan.
Sebagai bagian dari kewajiban masyarakat, kita pun harus mulai mengubah cara pandang dan pilihan kata. Hindari penggunaan istilah “penyandang cacat” yang sarat stigma. Mulailah menyebut saudara-saudara kita secara benar sebagai penyandang disabilitas, sebagai wujud penghormatan terhadap martabat mereka sebagai manusia. Selamat Hari Disabilitas. Semoga menjadi pengingat bagi kita semua bahwa inklusi adalah tanggung jawab bersama.







