InfoMalangRaya.com– Sedikitnya 110 orang yang kebanyakan manula telah dibunuh secara biadad oleh anggota geng kriminal di ibu kota Haiti, Port-au-Prince.
National Human Rights Defence Network (RNDDH) mengatakan seorang pemimpin geng setempat menarget orang-orang tua tersebut setelah putranya jatuh sakit dan kemudian meninggal.
Pemimpin geng tersebut dikabarkan berkonsultasi dengan seorang dukun voodoo yang menuduh sejumlah orang tua di kampungnya “meneluh” anak tersebut sehingga jatuh sakit dan meninggal, lansir BBC Senin (9/12/2024).
Pembunuhan-pembunuhan itu terjadi di kawasan Cité Soleil di Port-au-Prince.
Menurut sejumlah laporan, anggota-anggota geng menciduk sejumlah warga yang berusia di atas 60 tahun dari rumah-rumah mereka di daerah Wharf Jérémie. Para manula itu kemudian dikumpulkan kemudian satu persatu ditembak atau ditikam sampai mati dengan pisau dan parang.
Warga setempat melaporkan melihat mayat-mayat yang dimutilasi dibakar di jalan-jalan.RNDDH memperkirakan 60 orang dibunuh pada hari Jumat (6/12/2024) dan 50 lainnya dibantai pada hari Sabtu, setelah putra pemimpin geng itu meninggal karena sakit.
Sementara RNDDH mengatakan bahwa semua korban berusia di atas 60 tahun, sebuah kelompok peduli HAM lain mengatakan bahwa sejumlah orang muda yang berusaha melindungi orang-orang tua mereka juga dibunuh.
Media lokal mengatakan dukun-dukun voodoo tidak menjadi target pembunuhan karena pemimpin geng tersebut berkonsultasi dengan mereka mengenai penyakit putranya.
Kelompok-kelompok HAM mengatakan pria pemimpin geng dimaksud adalah Monel Felix, alias Mikano.
Mikano dikenal sebagai pemimpin geng yang menguasai wilayah Wharf Jérémie, sebuah kawasan strategis di ibu kota Haiti.
Romain Le Cour Grandmaison, seorang pakar di Global Initiative against Transnational Crime (GI-TOC), daerah itu kecil tetapi sulit ditembus oleh aparat keamanan.
Media lokal mengatakan penduduk dilarang meninggalkan Wharf Jérémie oleh geng Mikano, sehingga kabar tentang pembantaian tersebut lambat tersebar.
Geng Mikano merupakan bagian dari aliansi geng Viv Ansanm, yang mengontrol sebagian besar ibu kota Haiti.
Geng-geng semakin merajalela di Haiti sejak pembunuhan Jovenel Moïse tahun 2021. Perebutan kekuasaan ditingkat atas melibatkan sejumlah politisi yang menggandeng kelompok-kelompok geng untuk menghadapi rival-rival mereka.
Sebagai dampaknya, geng-geng tersebut merasa di atas angin dan semakin berbuat semaunya di masyarakat.
Saat ini geng-geng diperkirakan menguasai 85 persen wilayah Port-au-Prince, dan semakin merambah daerah pedesaan. Ribuan orang terpaksa meninggalkan rumah dan kampung mereka akibat tindak kekerasan yang dilakukan geng-geng tersebut.
Menurut badan urusan migrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, International Organization for Migration (IOM), lebih dari 700.000 orang di Haiti, sebagiannya anak-anak, menjadi pengungsi di negerinya sendiri.
Anggota geng sering menggunakan tindakan seksual, termasuk pemerkosaan berkelompok, untuk menebar teror di kalangan penduduk setempat.*