Masalah Gangguan Lutut yang Semakin Umum
Gangguan lutut adalah salah satu masalah muskuloskeletal yang paling sering dihadapi oleh masyarakat. Hal ini wajar mengingat lutut merupakan sendi terbesar dan paling kompleks dalam tubuh, yang setiap hari harus menopang beban tubuh. Ketika mengalami kerusakan, lutut bisa menyebabkan nyeri yang berkepanjangan, keterbatasan gerak, hingga menurunkan kualitas hidup.
Secara global, osteoartritis lutut menjadi gangguan yang paling umum. Berdasarkan data dari WHO, sekitar 7 persen populasi dunia mengalami kondisi ini, dengan lutut sebagai lokasi paling sering terkena dampaknya. Pada kelompok usia di atas 60 tahun, prevalensinya bisa mencapai 30–40%, terutama pada wanita. Selain itu, cedera lutut seperti robekan meniskus, cedera ligamen anterior (ACL), atau sindrom nyeri patellofemoral juga cukup banyak ditemui, khususnya pada atlet atau pekerja dengan aktivitas fisik tinggi.
Di Indonesia, data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa penyakit sendi, termasuk gangguan lutut, mencapai 7,3%. Angka ini cenderung meningkat seiring bertambahnya usia. Osteoartritis lutut diprediksi menjadi penyebab utama nyeri sendi pada masyarakat berusia di atas 50 tahun. Sementara itu, kasus cedera lutut pada usia muda semakin sering terjadi, terutama karena tren olahraga populer seperti futsal, sepak bola, badminton, dan lari maraton.
Faktor Risiko yang Meningkatkan Kecenderungan Gangguan Lutut
Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan gangguan lutut antara lain usia lanjut, terutama di atas 50 tahun, jenis kelamin (wanita pasca-menopause lebih rentan), berat badan berlebih (obesitas) yang memberi tekanan ekstra pada sendi, aktivitas fisik berat atau olahraga dengan kontak tinggi, serta riwayat cedera lutut sebelumnya.
Inovasi Teknologi Medis dalam Penggantian Sendi Lutut
Perkembangan teknologi medis kini memberikan harapan baru bagi pasien yang membutuhkan operasi penggantian sendi lutut. Salah satu inovasi terkini adalah robotic Total Knee Replacement (TKR), yaitu prosedur penggantian lutut yang dilakukan dengan bantuan sistem robotik berpresisi tinggi. Robot ini bertindak sebagai asisten pintar bagi dokter bedah.
Dengan teknologi navigasi real-time, sistem mampu memetakan anatomi lutut pasien secara detail, sehingga pemotongan tulang dan penempatan implan dapat dilakukan lebih presisi sesuai kondisi individu. Prof. Dr. dr. Ismail Hadi Soebroto Dilogo, Sp.OT. Subsp.P.L (K), dokter Subspesialis Panggul dan Lutut di Siloam Hospitals Mampang menjelaskan bahwa penggunaan robot dalam TKR dapat mempercepat pemulihan, mengurangi rasa nyeri pasca operasi, serta meningkatkan ketahanan implan.
Meski demikian, keputusan medis tetap berada di tangan dokter. “Kolaborasi antara keahlian manusia dan kecanggihan teknologi menghasilkan operasi yang lebih aman dan akurat,” jelasnya.
Kelebihan Robotic TKR dibanding Operasi Konvensional
Dibandingkan dengan operasi konvensional, robotic TKR menawarkan beberapa kelebihan. Pertama, pemulihan lebih cepat karena pasien dapat mulai latihan pergerakan di hari yang sama pascaoperasi. Kedua, sayatan lebih kecil dan minim invasif, sehingga risiko perdarahan dan infeksi lebih rendah. Ketiga, durasi operasi lebih efisien berkat perencanaan akurat. Keempat, nyeri pasca operasi lebih ringan karena trauma jaringan lebih minim.
Banyak pasien menunda operasi lutut karena khawatir akan rasa sakit, pemulihan yang lama, atau hasil yang tidak optimal. Namun, teknologi robotik diyakini mampu menjawab keraguan tersebut dengan tingkat akurasi tinggi, risiko kesalahan yang sangat kecil, dan proses pemulihan yang lebih nyaman.