Sosok yang Berjalan dalam Sunyi
Dalam kehidupan ini, ada sosok-sosok yang hidup dalam diam. Mereka menghabiskan waktu untuk bekerja, berjalan, dan bertahan tanpa pernah menuntut dunia untuk memperhatikan mereka. Mereka tidak sempat memikirkan mimpi besar karena bertahan hari ini saja sudah menjadi kemenangan. Dalam film Pangku, sosok itu hadir dalam diri Hadi, diperankan oleh Fedi Nuril dengan kehalusan yang nyaris tak bersuara. Debut penyutradaraan Reza Rahadian ini memotret bagaimana cinta, kesepian, dan keteguhan bisa saling bersilangan dalam kehidupan orang-orang yang berada di pinggir bayangan ekonomi dan sosial.
Kehidupan Hadi yang Penuh Tekanan
Hadi bukan lelaki yang tumbuh dengan banyak pilihan. Ia seorang sopir truk pengantar ikan, sosok pekerja keras yang hidupnya bergerak terus tanpa jeda. Tidak ada ruang untuk manja, apalagi mengeluh. “Hadi ini seorang truk pengantar ikan, dia kerja keras dan tidak suka mengeluh, karena sebagai kaum marginal dia harus terus bekerja untuk menciptakan hidup,” ujar Fedi menceritakan sosok Hadi. Kalimat itu terdengar sederhana, tapi dari sana kita tahu: hidup Hadi bukan tentang pilihan, melainkan tentang kebutuhan untuk terus berjalan.
Meski begitu, tubuh yang berotot oleh tenaga dan kulit yang diasah matahari tidak serta-merta membuat Hadi kebal terhadap kesepian. Ada tempat kosong yang tidak pernah benar-benar terisi, ruang kerinduan akan seseorang yang bisa melihat dirinya bukan hanya sebagai tenaga kerja. “Bagaimanapun dia tetap butuh cinta… kesepian itu menyusup di tengah sunyi yang Hadi rasakan di tengah riuhnya isi kepalanya saat terus bekerja tanpa henti,” ungkapnya.
Lewat Hadi, Fedi tidak hanya menampilkan laki-laki yang bekerja keras. Ia menampilkan seseorang yang menggenggam kesunyian, dan justru dari sanalah ketegangan emosional karakter ini hidup, diam, tapi penuh cerita yang ingin keluar.
Cinta yang Tumbuh Perlahan
Pertemuan Hadi dengan Sartika (Claresta Taufan) tidak digambarkan sebagai takdir romantis yang megah. Keduanya bertemu ketika keduanya sama-sama berada dalam keadaan hidup yang berat dan melelahkan. “Situasi ini sangat memprihatinkan, tapi yang aku kagum, mereka nggak sempat ngeluh. Mereka harus tetap jalan, bekerja untuk bisa bertahan hidup,” ujar Fedi.
Ada kejujuran yang pahit sekaligus indah di sana, bahwa cinta tidak selalu hadir dalam kemewahan, tapi kadang tumbuh di tanah yang penuh debu dan keringat. Justru karena hidup mereka penuh tekanan, momen kehangatan terasa sangat berarti. Ada tawa kecil yang terasa seperti cahaya. Ada percakapan sederhana yang terasa seperti rumah. Di tengah hidup yang keras, kedekatan jadi hal paling mewah.
“Kalau ada yang menemani, itu menyenangkan. Menenangkan. Jadi sulit untuk ditolak, apalagi untuk mereka yang bahkan dalam hidupnya tak berani bermimpi,” katanya lagi. Itu bukan cinta yang digembor-gemborkan. Itu cinta yang diam-diam merawat keberanian untuk bertahan. Mereka saling mendekat bukan karena mereka bebas memilih, tetapi karena hati manusia selalu mencari tempat untuk pulang.
Film yang Menyentuh Luka Lama
Keputusan Fedi untuk terlibat dalam Pangku tidak lahir dari pertimbangan teknis atau karier semata. Ia terpikat karena latar emosional film ini berasal dari kehidupan nyata Reza Rahadian dan ibunya. “Waktu Reza bilang ini surat cinta dia untuk ibunya, aku langsung tersentuh,” kata Fedi. Film ini bukan sekadar fiksi, ia adalah pengakuan, penghormatan, dan kenangan yang ditenun menjadi narasi.
Pengalaman pribadi Fedi juga memperkuat keterikatannya pada cerita Sartika, seorang ibu tunggal yang berjuang seorang diri. “Ibuku single parent. Istriku juga aku lihat menjalani kehamilan hingga melahirkan. Perjuangan dan kekuatan perempuan itu aku lihat banget. Makanya film ini benar-benar menyentuh aku dan membuatku ingin terlibat lebih jauh di dalamnya,” tuturnya. Pengalaman itu membuat karakter Hadi bukan sekadar peran baginya, tetapi refleksi perenungan tentang perempuan dalam hidupnya. Dari sana, Pangku terasa seperti film yang dibuat dengan hati, dan diperankan dengan jiwa.
Kolaborasi dengan Reza Rahadian
Menyaksikan Reza Rahadian duduk di kursi sutradara untuk pertama kalinya menjadi pengalaman tersendiri bagi Fedi. Meski baru pertama kali mengarahkan film panjang, Reza terlihat matang dan sangat pasti pada visinya. “Reza tahu banget apa yang dia mau. Nggak kelihatan bingung atau kagok sama sekali,” ungkap Fedi. Itu menciptakan suasana syuting yang tenang, terstruktur, dan penuh rasa saling percaya.
Hubungan mereka yang sebelumnya sama-sama sebagai aktor juga bergeser secara alami ketika kini Reza berada di posisi pemegang kendali. “Sebagai sutradara, dia punya big picture. Jadi aku harus lebih open minded,” kata Fedi. Bagi Fedi, proses ini bukan hanya soal memainkan karakter, tapi juga soal belajar merendahkan ego demi visi bersama. Hasilnya adalah kolaborasi yang tidak hanya bekerja, tetapi mengalir.
Pelajaran Berharga dari Hadi
Yang paling kuat tertinggal dalam diri Fedi setelah memerankan Hadi adalah kesadaran tentang ketabahan. “Aku yang berprivilege ini kadang masih suka nggak konsisten, sedangkan Hadi dan teman-temannya nggak punya waktu buat terpuruk. Mereka harus tetap jalan,” ucapnya. Ia juga belajar tentang bagaimana cara memandang perempuan dengan lebih penuh hormat. “Kita perlu menghargai perempuan. Mereka makhluk yang kuat, tapi yang mereka nggak suka adalah dibuat seperti pesuruh,” kata Fedi.
Penghargaan yang sederhana, namun sering dilupakan kehidupan. Dari Hadi, Fedi memahami bahwa ketahanan bukan tentang tidak rapuh, tetapi tentang tetap berjalan meski dunia berat.







