Peran FIG dalam Penolakan Visa Atlet Israel
Federasi Gymnastik Internasional (FIG) akhirnya memberikan pernyataan resmi terkait keputusan pemerintah Indonesia yang menolak memberikan visa kepada enam atlet senam artistik asal Israel untuk tampil di Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 di Jakarta. Dalam konferensi pers yang digelar di Indonesia Arena pada Sabtu (18/10), Sekretaris Jenderal FIG Nicolas Buompane mengungkapkan bahwa keputusan tersebut memang bisa dianggap melanggar prinsip non-diskriminasi yang tercantum dalam Piagam Olimpiade dan Statuta FIG. Namun, ia juga menyampaikan bahwa pihaknya memahami alasan utama di balik keputusan itu, yaitu faktor keamanan.
“Baik Piagam IOC maupun Statuta FIG menekankan partisipasi universal. Tetapi di sisi lain, ada klausul force majeure yang memperbolehkan pengecualian dalam kondisi luar biasa, terutama yang menyangkut keselamatan,” ujar Buompane dengan nada hati-hati. “Kami semua ingin atlet Israel berpartisipasi. Namun pada situasi tertentu, itu tidak bisa dipaksakan.”
Pernyataan Buompane datang di tengah meningkatnya sorotan internasional terhadap Indonesia, menyusul penolakan visa yang disebut sejalan dengan kebijakan luar negeri Presiden Prabowo Subianto. Pemerintah menegaskan bahwa keputusan itu merupakan langkah politik yang mempertimbangkan dinamika global dan sensitivitas publik terhadap konflik di Timur Tengah.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, pemerintah Indonesia tetap menjunjung tinggi keamanan nasional dan stabilitas sosial. “Kita tidak ingin Kejuaraan Dunia ini menjadi ajang yang memicu gejolak,” kata Yusril pada 9 Oktober lalu. Ia menambahkan bahwa keputusan tersebut diambil dengan sepengetahuan Presiden.
Federasi Senam Israel (IGF) kemudian menggugat keputusan itu ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS), namun permintaan mereka untuk langkah sementara ditolak pada 15 Oktober. Dalam putusannya, CAS menyebut bahwa permohonan tersebut tidak memenuhi syarat mendesak untuk menghentikan penyelenggaraan ajang tersebut. Dengan begitu, Indonesia tetap menjadi tuan rumah penuh dengan 77 federasi nasional dan lebih dari 1.200 peserta dari berbagai negara.
Tantangan FIG dalam Menjaga Prinsip Universalitas
Buompane menegaskan bahwa FIG menghadapi dilema antara menjalankan prinsip universalitas olahraga dan menjaga keberlangsungan ajang yang telah disiapkan selama bertahun-tahun. “Secara teknis, ya, ini melanggar statuta. Tapi kami punya pembenaran di bawah klausul force majeure. Kita tidak bisa memindahkan ajang sebesar ini secara mendadak,” ujarnya.
Ia juga menyinggung bahwa persoalan Israel memang kerap menjadi isu sensitif dalam olahraga internasional. Sebagai contoh, ia menyebut aksi protes pro-Palestina yang mengganggu balap sepeda Vuelta de España, serta pembatasan terhadap pendukung klub Israel yang hendak datang ke markas Aston Villa di Inggris. “Olahraga global kini tidak bisa dipisahkan dari realitas politik dunia. Ini pelajaran bagi kita semua,” katanya.
Meski begitu, FIG memastikan bahwa semua peserta selain tim Israel telah menerima visa mereka sebelum tenggat 9 Oktober. Namun ketika situasi sosial-politik di Indonesia memanas, proses untuk delegasi Israel dihentikan. “Panitia telah bekerja dengan penuh tanggung jawab. Mereka berinvestasi besar. Tidak ada niat untuk mendiskriminasi siapa pun,” tambah Buompane.
Reaksi dari Komite Olimpiade Internasional
Sementara itu, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menyatakan kekecewaannya terhadap keputusan Indonesia, dengan menyebut bahwa tindakan itu bertentangan dengan semangat Olimpiade. Namun IOC juga mengakui bahwa keamanan atlet adalah prioritas utama setiap negara tuan rumah. Pernyataan lembaga tersebut memperlihatkan keseimbangan antara kritik moral dan realitas politik yang dihadapi Indonesia.
Dalam suasana yang penuh tekanan diplomatik, Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 tetap berlangsung sesuai jadwal. Ajang ini menjadi cermin kompleksitas hubungan antara olahraga, politik, dan keamanan global. Di tengah sorotan dunia, Indonesia berusaha menjaga reputasinya sebagai tuan rumah yang bertanggung jawab—meski keputusan yang diambilnya memunculkan perdebatan panjang tentang batas antara prinsip universal olahraga dan kedaulatan nasional.