FORNAS VIII 2025: Sebuah Momentum untuk Memahami Nilai Lokal dan Kebudayaan
FORNAS VIII tahun 2025 yang diselenggarakan di Nusa Tenggara Barat (NTB) bukan hanya sekadar ajang olahraga, tetapi juga menjadi momen penting dalam memperkuat persatuan nasional melalui komunitas. Ribuan peserta dari berbagai provinsi hadir, membawa kekayaan budaya masing-masing, sekaligus memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian lokal. NTB menunjukkan bahwa ia adalah tuan rumah yang ramah, terbuka, dan siap menerima tamu.
Namun, di tengah semangat tersebut, sebuah peristiwa memicu reaksi yang cukup besar. Cuplikan video dari cabang olahraga binaraga (body contest) perempuan beredar di media sosial, meskipun kompetisi tersebut dilaksanakan di ruang tertutup dan bukan untuk dikonsumsi publik. Reaksi yang muncul sangat kuat, mulai dari emosi hingga kecaman, baik secara digital maupun nyata.
Pertanyaannya, apakah ini hanya tentang masalah pakaian? Atau ada hal lain yang lebih dalam, yaitu nilai-nilai yang sedang terganggu oleh tampilan visual tersebut? Diskusi ini tidak boleh berakhir dengan saling menyalahkan. Yang lebih penting adalah refleksi jujur mengenai apa yang terjadi dan mengapa reaksi itu begitu besar di NTB.
Identitas NTB yang Berakar pada Budaya
Identitas NTB tidak hanya dilihat dari keindahan alamnya, tetapi juga dari keragaman budaya yang kaya akan nilai. Empat suku utama yang tinggal di wilayah ini—Sasak, Samawa, Dompu, dan Mbojo—masing-masing memiliki sistem etika unik yang saling melengkapi. Dalam masyarakat Sasak, istilah “bilao” menggambarkan rasa malu, harga diri, dan kehormatan yang menjadi bagian dari norma batiniah. Ini bukan sekadar perasaan, tetapi cara menjaga martabat diri, keluarga, dan komunitas.
Di komunitas Samawa, ungkapan “Tao na lanti malu, de na tau ta ra’i” (Orang yang tidak tahu malu bukanlah orang yang utuh) menunjukkan bahwa rasa malu merupakan indikator kematangan moral dan sosial. Segala tindakan yang ditampilkan kepada khalayak harus dipertimbangkan apakah pantas atau tidak, serta apakah membawa nilai positif.
Dalam budaya Dompu dan Mbojo, falsafah “Rasa malu adalah pagar adat” menggambarkan pentingnya rasa malu sebagai bentuk pengawasan terhadap perilaku. Perempuan dihormati dalam ruang yang menjaga martabatnya. Tubuh bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga bagian dari kehormatan keluarga dan masyarakat luas.
Rasa Malu sebagai Fondasi Etika Sosial
Dalam seluruh komunitas etnis di NTB, baik di Pulau Lombok maupun Pulau Sumbawa, rasa malu menjadi tiang utama pembentuk harga diri dan etika sosial. Ia bukan hanya perasaan individual, tetapi juga penjaga struktur sosial, pengontrol perilaku, dan pembentuk martabat manusia.
Reaksi masyarakat NTB terhadap pertunjukan tubuh dalam lomba body contest bukanlah bentuk kebencian terhadap olahraga, terutama perempuan, tetapi ekspresi spontan dari sistem nilai yang telah terpelihara dalam kesadaran sosial. Ini bukan soal anti-olahraga, tetapi tentang bagaimana nilai-nilai lokal merasa terusik oleh visualisasi yang dianggap bertentangan dengan norma rasa malu dan kehormatan.
Standar Teknis vs. Kesadaran Sosial
Binara adalah cabang olahraga resmi dengan standar dan teknisnya sendiri. Pakaian yang dikenakan bukan dalam rangka vulgaritas, tetapi keharusan dalam penilaian proporsi otot dan teknik kompetisi. Hal ini sama seperti atlet renang, voli pantai, atau senam. Namun, pertanyaannya, apakah semua bentuk kebolehan teknis bisa diterima secara sosial tanpa dialog?
NTB bukanlah ruang kosong. Di dalamnya hidup ribuan masjid, ribuan pesantren, dan ratusan komunitas adat yang sangat sensitif terhadap simbol tubuh dan moralitas publik. Oleh karena itu, diskusi yang setara harus mencakup bukan hanya apakah ini sah secara teknis olahraga, tetapi juga apakah ini dipahami dengan baik oleh masyarakat sebagai konteks olahraga.
Menghindari Standar Ganda dan Kepanikan Moral
Kita harus menghindari adanya “standar ganda dan kepanikan moral.” Misalnya, mengapa kehadiran ribuan turis asing berpakaian minim di pantai-pantai NTB tidak menuai reaksi serupa? Apakah karena itu “menguntungkan secara ekonomi”? Jika demikian, maka kita harus jujur bahwa yang bekerja bukan lagi nilai, melainkan kalkulasi pragmatis.
Sebaliknya, reaksi terhadap body contest harus dijaga agar tidak berubah menjadi kepanikan moral berlebihan. Masyarakat perlu dibimbing untuk memahami, bukan marah. Pemerintah perlu mengatur dengan menyusun protokol budaya yang menjadi panduan bersama antara dunia olahraga dan kearifan lokal.
Protokol Budaya untuk Event Nasional
NTB sebagai tuan rumah event nasional harus membangun mentalitas yang matang. Mentalitas menerima keberagaman, tetapi juga keberanian menyatakan batasan yang berbasis nilai lokal. Untuk itu, penting bagi NTB memiliki “protokol kultural” sebagai bagian dari pelaksanaan event nasional, dengan memperhatikan:
- Komunikasi lebih awal mengenai cabang olahraga yang sensitif
- Penyesuaian ruang agar tidak menciptakan keterpaparan publik secara luas
- Edukasi kepada panitia nasional bahwa tuan rumah memiliki norma yang harus dihargai
NTB tidak menolak tamu, tidak menolak kemajuan. Tapi NTB ingin agar kemajuan itu tetap selaras dengan ruh daerah yang religius, santun, dan penuh rasa malu yang luhur.
Menjadi Titik Tolak untuk Narasi yang Lebih Baik
Polemik ini tentu tidak boleh berlarut, atau bahkan bisa saja berakhir hanya sebagai viral media sosial. Yang paling penting adalah, polemik ini dapat menjadi titik tolak untuk memperkuat narasi NTB sebagai daerah yang terbuka tapi tidak kehilangan arah, ramah tapi tetap bermartabat.
Kita hentikan saling tuding, saling menyalahkan, dan bangun tradisi saling menguatkan. Masyarakat, pemerintah, panitia olahraga, tokoh agama, dan adat harus duduk bersama menyusun mekanisme kolaboratif agar nilai dan prestasi berjalan beriringan.
Karena NTB adalah Negeri Seribu Kearifan dan kearifan itu akan tetap hidup bila dijaga dengan kasih dan cinta, bukan dengan kemarahan. Olahraga membutuhkan kebebasan teknis, tetapi masyarakat punya hak untuk mempertahankan norma. Dan di antara keduanya, ada ruang dialog yang luas untuk saling memahami, bukan saling mencela.
NTB tidak anti kemajuan. Tapi NTB juga tidak boleh kehilangan rasa. Kita jaga marwah daerah, dengan penghargaan terhadap tamu dan tetap memperkuat narasi lokal yang ramah dan bijak. Kita jadikan FORNAS ataupun event serupa lainnya bukan hanya sebagai panggung pagelaran, tetapi panggung hikmah, di mana NTB menunjukkan bahwa terbuka bukan berarti kehilangan arah, dan modern bukan berarti melupakan akar.