InfoMalangRaya.com– Pertemuan tingkat tinggi para pemimpin gereja Katolik di Vatikan berakhir dengan seruan supaya wanita diberikan peran kepemimpinan lebih banyak, tetapi bukan seruan supaya wanita ditahbiskan sebagai pendeta, sebagaimana yang diharapkan oleh kalangan progresif di awal pertemuan.
Sinode ini merupakan akhir dari konsultasi selama empat tahun yang bertujuan untuk mengukur pandangan setiap umat Katolik di seluruh dunia, dan Paus Fransiskus membuka konferensi tersebut yang biasanya hanya untuk kalangan uskup juga boleh dihadiri oleh kalangan awam, termasuk hampir 60 wanita dari 368 delegasi yang memiliki hak suara untuk memilih.
Semua anggota sinode memberikan suaranya untuk setiap dari 151 proposal yang diajukan dalam pertemuan tersebut.
Meskipun semua usulan disetujui oleh dua pertiga suara mayoritas, suara “tidak” terbanyak diberikan kepada usulan tentang peran lebih banyak bagi perempuan dalam kepemimpinan di gereja, yang selama ini kursinya hanya diisi oleh laki-laki, lansir BBC Sabtu (26/10/2024).
Para pendukung peran yang lebih besar bagi wanita di gereja berharap sinode dapat mendorong perempuan supaya diperbolehkan menjadi diaken. Sinode tidak meloloskannya, tetapi pada bagian akhir dokumen pertemuan tersebut dikatakan bahwa “tidak ada alasan atau halangan yang boleh menghambat wanita untuk menjalankan peran kepemimpinan di gereja”.
Saat ini Gereja Katolik hanya mengizinkan pria untuk menjadi diaken – rohaniwan yang ditahbiskan yang dapat memimpin ritual pembaptisan, pernikahan, dan pemakaman, tetapi tidak boleh memimpin misa, tidak seperti pendeta.
Meskipun kelompok-kelompok reformis juga berharap adanya kebijakan konkret untuk lebih menerima kaum gay di lingkungan gereja, dokumen akhir pertemuan itu tidak menyebutkan komunitas LGBT+, kecuali sedikit referensi kepada mereka yang merasa “dikucilkan atau dihakimi” karena “status perkawinan, identitas, atau seksualitas mereka”.
Reverend James Martin, seorang pendeta Jesuit terkemuka Amerika yang melayani komunitas LGBT dan merupakan anggota sinode, mengaku tidak terkejut apabila hasil pertemuan itu tidak menyebut kaum LGBT atau homoseksual.
Kalangan progresif mungkin kecewa dengan hasil pertemuan, tetapi sejumlah kaum konservatif sudah merasa kesal dengan seluruh penyelenggaraan pertemuan tingkat tinggi itu sejak awal. Banyak kalangan tradionalis menentang sesi konsultasi dengan orang awam atau mendengarkan suara mereka di dalam pertemuan yang aslinya hanya diperuntukkan bagi rohaniwan pejabat tinggi Gereja Katolik itu.
Namun, sesi pertemuan dengan orang awam itu memenuhi keinginan Paus Fransiskus, 87, yang berpendapat kalangan akar rumput Katolik seharusnya ikut berperan dalam membentuk masa depan gereja, bukan hanya kalangan kardinal dan uskup saja.*