Greenpeace Mendorong Pengakuan Bencana Nasional di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat
Greenpeace menyerukan pemerintah untuk mengakui bencana yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sebagai bencana nasional. Hal ini dilakukan agar bantuan penanggulangan bencana dapat segera diberikan secara cepat dan tepat. Bencana ini juga menjadi peringatan bagi pemerintah untuk membenahi tata kelola hutan, kebijakan lingkungan, serta iklim secara menyeluruh.
“Banjir besar ini menunjukkan satu hal: dampak tak terhindarkan dari krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang telah dibiarkan memburuk selama bertahun-tahun,” ujar Kepala Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas dalam pernyataan resmi.
Dia menjelaskan bahwa dampak krisis iklim terlihat dari cuaca ekstrem yang semakin meningkat, termasuk hujan lebat yang diperparah oleh kemunculan Siklon Tropis Senyar pada 25–27 November 2025 di Selat Malaka. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), keberadaan Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka yang berdampak pada daratan Sumatra merupakan fenomena yang sangat jarang terjadi mengingat wilayah tersebut berada dalam kisaran lima derajat dari garis khatulistiwa.
Dampak Banjir dan Peringatan untuk Pemerintah
Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menekankan bahwa hujan ekstrem akan terus menghantui masyarakat sebagai konsekuensi langsung dari krisis iklim. Sebagai negara kepulauan yang rawan bencana, dampak krisis iklim bukan hanya sekadar angka tapi juga mengancam nyawa.
“Kami membutuhkan target dan aksi iklim yang ambisius, tidak bisa lagi mengandalkan upaya mitigasi dan adaptasi yang hanya ada di atas kertas. Tidak boleh lagi ada solusi palsu (seperti biofuel) dalam kebijakan iklim nasional, kebijakan harus dialihkan dari mengutamakan segelintir pihak menjadi memastikan kelayakhunian bagi semua,” katanya.
Kerusakan Hutan di Daerah Aliran Sungai
Faktor lain yang memperparah dampak banjir di Sumatra adalah kerusakan hutan, termasuk di kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS). Analisis Greenpeace berdasarkan data Kementerian Kehutanan menemukan bahwa selama periode 1990–2024, sebagian besar hutan alam di Provinsi Sumatera Utara telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit, pertanian lahan kering, dan perkebunan kayu pulp. Situasi serupa juga terjadi di Aceh dan Sumatra Barat.
Peneliti senior Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi, menjelaskan bahwa mayoritas DAS di Pulau Sumatra berada dalam kondisi kritis, dengan tutupan hutan alam kurang dari 25%. “Sementara itu, secara keseluruhan kini hanya tersisa 10–14 juta hektare hutan alam, atau kurang dari 30 persen dari luas Pulau Sumatra yang mencapai 47 juta hektare,” terangnya.
Kerusakan di DAS Batang Toru
Salah satu DAS yang mengalami kerusakan sangat parah adalah DAS Batang Toru, yang mencakup Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah. Sebagai salah satu kawasan hutan tropis terakhir di Sumatra Utara, wilayah ini dibebani berbagai industri rakus lahan, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru yang selain menghancurkan hutan juga menyingkirkan habitat tersisa orangutan Tapanuli yang baru diidentifikasi.
Greenpeace dalam analisanya mengungkapkan bahwa pada periode 1990–2022, di DAS Batang Toru seluas 70 ribu hektare atau 21% kawasan mengalami deforestasi. Kini hanya 49% wilayah yang masih berhutan. Adapun wilayah yang telah diberi izin untuk industri ekstraktif dan berbasis lahan mencapai 94 ribu hektare atau sekitar 28% dari total kawasan. Sebagian besar berupa izin kehutanan, pertambangan, dan sawit.
Evaluasi Tata Kelola Hutan
Arie Rompas meminta agar pemerintah Indonesia melakukan pembenahan besar-besaran terhadap tata kelola lahan dan hutan untuk menyelamatkan alam dan masyarakat dari bencana yang dipicu krisis iklim. “Dengan krisis iklim yang semakin memburuk, deforestasi dan penurunan drastis kemampuan lingkungan akan menjamin meningkatnya kerusakan saat cuaca ekstrem terjadi,” kata dia.
Pemerintah, menurut dia, harus mengakui bahwa mereka salah dalam tata kelola hutan dan lahan. Menurutnya, akibat kerakusan korporasi dan salah kelola pemerintah, hutan Sumatra yang dulunya sangat luas kini sangat berkurang, dan masyarakat Sumatra harus menanggung dampak bencana ekologis yang tak tertahankan ini.
Selain itu, pihaknya juga meminta pengevaluasi izin-izin di Sumatra, pemerintah juga dinilainya harus menghentikan perusakan hutan di wilayah lain. “Hentikan perusakan hutan yang terjadi di Raja Ampat dan pulau-pulau kecil lain yang dikeruk untuk pertambangan nikel, serta rencana deforestasi besar-besaran di Merauke, Papua Barat, dengan kedok produksi biofuel dan perkebunan skala industri. Pertumbuhan ekonomi 8% yang diimpikan Prabowo tidak akan pernah tercapai jika lingkungan dirusak dan bencana iklim terus mengancam kita semua,” tandasnya.







