Desain Kota yang Ramah Pejalan Kaki
Tata kota yang baik dan ramah bagi pejalan kaki menjadi salah satu aspek penting dalam menciptakan kehidupan sehat. Hal ini disampaikan oleh Prof Ir Jenny Ernawati MSP PhD dari Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (UB) Malang. Ia baru saja diangkat sebagai guru besar UB bersama tujuh profesor lainnya.
Dalam orasi ilmiahnya, Prof Jenny menekankan bahwa desain kota tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga harus mampu mendorong kesehatan fisik dan mental warga. Menurutnya, kota yang baik bukan hanya sekadar tempat orang bekerja, berbelanja, atau tinggal. Kota harus bisa membuat warganya merasa bahagia dan tertarik untuk beraktivitas di ruang publik.
Ia memberikan contoh fenomena Car Free Day (CFD) di Kota Malang, yang selalu berhasil menarik ribuan warga untuk turun ke jalan, meskipun tanpa tujuan belanja. Aktivitas sederhana ini terbukti dapat mengurangi stres dan menjadi sarana pelepas kejenuhan. Menurut Prof Jenny, desain kota berorientasi pejalan kaki merupakan kunci dalam membangun masyarakat yang sehat.
“Penataan kota yang ramah untuk pejalan kaki sangat penting,” ujarnya. “Sejauh ini, hampir semua kota di Indonesia sudah mengarah ke sana. Contohnya adalah Malang dengan Kayutangan, Yogyakarta dengan Malioboro-nya.”
Namun, ia menegaskan bahwa tidak semua desain tata kota yang ramah bagi pejalan kaki dibuat dengan standar yang sama. Desain tersebut harus disesuaikan dengan budaya dan lingkungan masyarakat setempat. Contohnya, Kota Sydney di Australia yang berhasil menata kawasan pusatnya hanya untuk pejalan kaki dan light rail. Hal ini menyebabkan polusi berkurang drastis dan aktivitas fisik warga meningkat.
“Di Sydney sekarang kendaraan besar tidak boleh masuk kota. Jalur transportasi hanya bisa menggunakan light rail. Jadi ke mana-mana, orang harus berjalan kaki,” katanya.
Meski demikian, Prof Jenny juga menyentil tantangan di Kota Malang. Meskipun sudah tersedia trotoar lebar di beberapa titik seperti Kayutangan, fungsi ruang lebih banyak dipakai untuk aktivitas sosial seperti nongkrong atau makan bersama, belum sepenuhnya mendorong aktivitas fisik. Di Surabaya, misalnya, kemacetan sudah menjadi hal yang biasa, sehingga tingkat stres warga cenderung meningkat.
“Tantangan kita adalah bagaimana desain kota tidak hanya ramah kendaraan bermotor, tetapi juga betul-betul mendukung pejalan kaki,” jelasnya.
Selain kenyamanan, faktor keamanan juga menjadi perhatian utama. Keamanan dari kendaraan bermotor maupun potensi kriminalitas harus diperhitungkan. Kehadiran pepohonan, jalur penyeberangan yang aman, serta keramaian di koridor jalan menjadi elemen penting untuk membuat orang merasa aman saat berjalan kaki.
“Adanya trotoar juga menjadi instrumen sebuah kota ramah pejalan kaki. Tapi selama ini kalau ada pelebaran, orientasinya hanya untuk kendaraan bermotor, bukan untuk pejalan kaki. Padahal itu dapat memberikan dampak yang signifikan untuk kesehatan masyarakat,” tambahnya.
Prof Jenny menegaskan bahwa konsep desain kota yang diajukannya masih bersifat konseptual dan perlu pengembangan, termasuk integrasi transportasi umum. Meski begitu, ia berharap model ini bisa menjadi pijakan awal dalam membangun kawasan perkotaan yang lebih sehat, ramah pejalan kaki, dan mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
“Yang saya gagas ini memang masih berupa model konseptual, yang kemudian untuk diterapkan tinggal dilihat per itemnya dan melihat bagaimana desainnya untuk menjadi dasar kita dalam mendesain sebuah kawasan,” pungkasnya.