Surabaya (IMR) – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi proyek pembangunan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) Kabupaten Lamongan kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Kamis (3/7/2025). Perkara bernomor 72/Pid.Sus-TPK/2025/PN Sby ini menghadirkan lima saksi dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kelima saksi yang dihadirkan antara lain Raulan (eks PPTK), Izzul Umam (kontraktor pengurukan), Joko Susetyo (staf terdakwa Davis), Ruswiyanto (admin pengurukan), serta Kartika Asianto alias Dodon. Mereka diperiksa secara rinci seputar pelaksanaan teknis proyek di lapangan.
Nama “Eka” kembali mencuat sebagai sosok penting dalam proyek tersebut. Dalam kesaksian sebelumnya, Eka disebut-sebut aktif memberi arahan teknis kepada para pelaksana. Ia diketahui menjabat sebagai Kepala Bidang yang membawahi langsung proyek RPHU.
Majelis hakim yang dipimpin Ni Putu Sri Indayani, SH, menyoroti gaya penyampaian para saksi yang dinilai tidak jelas dan berputar-putar.
“Jangan berputar-putar. Kasihan Pak Wahyudi, yang sudah tua dan pensiun, harus menanggung sesuatu yang bukan tanggung jawabnya,” tegas hakim Ni Putu.
Majelis pun memerintahkan JPU menghadirkan saksi kunci seperti Eka, Asna (Pejabat Pengadaan), Rio (konsultan), dan Joko dalam sidang lanjutan, Kamis (10/7/2025). Selain itu, diminta juga kehadiran PPTK baru Nur Yazid dan Sekretaris Dinas yang dinilai berkaitan langsung dengan alur pelaksanaan proyek.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa Wahyudi, Muhammad Ridlwan, SH, menyatakan bahwa fakta-fakta di persidangan justru menguatkan bahwa kliennya tidak terlibat teknis dalam proyek RPHU.
“Yang dihadirkan hari ini adalah pihak-pihak teknis seperti PPTK lama Raulan, kontraktor, dan staf Davis. Bahkan Joko, selaku staf Davis, dengan tegas menyatakan tidak pernah sekalipun bertemu Pak Wahyudi selama proses lelang maupun pelaksanaan proyek,” ungkap Ridlwan.
Ia menambahkan bahwa semua penunjukan pejabat pelaksana proyek merupakan kewenangan Kepala Dinas, bukan PPK seperti Wahyudi. Menurutnya, Wahyudi hanya menjalankan tugas secara administratif sesuai prosedur.
“Pak Wahyudi hanya menjalankan tugas sebagai PPK yang ditunjuk secara formal. Seluruh proses administrasi sudah melalui tahapan validasi, mulai dari dokumen, pencairan, hingga pengurukan yang telah melewati checklist sesuai ketentuan,” tegasnya.
Menanggapi dakwaan JPU yang menyebut kerugian negara lebih dari Rp300 juta, Ridlwan membantah keras. Ia menyebut sebagian besar kerugian sudah dikembalikan oleh pihak-pihak terkait.
“Dalam fakta persidangan, terungkap bahwa Pak Wahyudi tidak pernah menerima aliran dana sepeser pun. Sementara kerugian negara yang didasarkan pada audit akuntan publik telah dikembalikan oleh beberapa pihak, seperti Rio (Rp40 juta), Izzul Umam (Rp30 juta lebih), Davis (Rp150 juta lebih), serta pengembalian dari hasil audit BPK senilai Rp92 juta lebih,” jelasnya.
Ridlwan menilai dakwaan kerugian negara menjadi tidak relevan dan menyebut kliennya sebagai korban kriminalisasi. “Kalau perkara ini dilihat secara objektif, maka yang harus lebih dulu diperiksa secara pidana adalah tim teknis. Ini perkara yang terlalu dipaksakan. Pak Wahyudi dijadikan tumbal sistem. Kami bahkan telah dua kali menempuh pra-peradilan untuk memperjuangkan keadilan bagi beliau,” tegasnya.
Ia berharap majelis hakim mampu melihat secara jernih posisi Wahyudi yang menurutnya merupakan sosok pejabat bersih dan profesional.
“Pak Wahyudi adalah representasi pejabat yang bersih dan profesional di Lamongan. Beliau menjalankan tugas dengan niat baik, tidak pernah cawe-cawe urusan teknis, apalagi menerima imbalan. Sudah semestinya beliau dibebaskan dari segala dakwaan,” pungkasnya.
Sidang akan kembali digelar pada Kamis, 10 Juli 2025, dengan agenda konfrontasi terhadap saksi-saksi kunci dalam perkara proyek RPHU Lamongan. [kun]