InfoMalangRaya.com – Kelompok kemerdekaan Palestina Hamas, telah menyusun sebuah daftar rinci berisi nama dan profil lebih dari 2000 tentara ‘Israel’, menurut media lokal.
Surat kabar berbahasa Ibrani, Haaretz, menyebut daftar itu dibuat untuk “pembalasan” atas pembunuhan “anak-anak Gaza”.
Dalam daftar tersebut terdapat identitas, nomor telepon, rincian bank, plat nomor kendaraan, dan bahkan di beberapa kasus, memuat kata sandi. Haaretz menyebut ini sebagai “mimpi buruk siber” bagi entitas Zionis ‘Israel’.
Dokumen-dokumen tersebut, yang berkisar dari beberapa halaman hingga lebih dari 200 halaman, dikompilasi setelah tanggal 7 Oktober dengan menggunakan informasi dari berbagai sumber, termasuk data yang bocor dari peretasan sebelumnya, media sosial, dan basis data publik. Tujuan dari daftar tersebut terlihat jelas di halaman sampulnya: “balas dendam [terhadap] para pembunuh anak-anak Gaza.”
Lebih dari 14.000 anak-anak Palestina telah terbunuh di Gaza oleh tentara ‘Israel’ sejak 7 Oktober lalu, melebihi jumlah anak-anak yang terbunuh dalam empat tahun dari gabungan seluruh konflik global. Menurut jurnal medis Inggris, The Lancet, jumlah korban jiwa yang sebenarnya dari warga Palestina bisa mencapai lebih dari 186.000 jiwa.
Dokumen tersebut dibuat dengan menggunakan alat profil otomatis yang mengumpulkan informasi intelijen dari sumber-sumber terbuka (OSINT), yang menunjukkan metode canggih Hamas untuk mengumpulkan dan mengatur informasi sensitif.
Iran diyakini telah memainkan peran penting dalam operasi peretasan yang menyebabkan pembobolan data tersebut.
“Secara holistik, melihat operasi ini, semua tanda mengarah ke Iran,” kata Ari Ben Am, salah satu pendiri Telemetry Data Labs. “Iran memiliki sejarah yang kaya dalam melakukan peretasan dan pembocoran dengan tempo operasional yang tinggi dan memperkuatnya melalui kelompok-kelompok hacktivist.”
Menurut MEMO pada Selas (23/07), keberadaan daftar ini ditemukan ketika bocor secara online dan dibagikan kepada sekelompok wartawan investigasi internasional.
Seorang sumber keamanan Israel mengkonfirmasi kepada Haaretz bahwa dokumen tersebut memang dibuat oleh Hamas, namun mengklaim bahwa daftar tersebut “bermasalah dan [dapat] menyebabkan ketidaknyamanan, namun [tidak] berbahaya” baik bagi para tentara maupun Israel. Namun, penilaian ini ditanggapi dengan skeptis oleh para ahli di bidangnya.
Kolonel Dr Gabi Siboni, seorang pakar perang siber, tidak setuju dengan penilaian sumber keamanan tersebut. “Hamas, Iran, dan Hizbullah ingin mendapatkan informasi sebanyak mungkin,” jelasnya. “Publik di Israel secara konstan terpapar operasi pengaruh, dan jika orang-orang tertentu dapat menjadi target, itu bahkan lebih berbahaya.”
Penjajah ‘Israel’ telah memperingatkan beberapa tentaranya terkait keberadaan daftar tersebut, menunjukkan bahwa mereka menanggapi ancaman itu dengan serius. Militer ‘Israel’ mengklaim mereka telah mengetahui data tersebut selama beberapa bulan.
“Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa upaya Hamas untuk mengumpulkan informasi tentang IDF dan tentaranya telah digagalkan,” kata Pasukan Penjajahan Israel.
Hanya Israel dan sekutu-sekutu terdekatnya yang telah mendaftarkan Hamas sebagai kelompok teroris.
Dark web juga dikatakan telah memainkan peran penting dalam penyebaran informasi sensitif ini, dengan laporan-laporan yang tersedia di platform peretas setidaknya sejak Desember tahun lalu.
Kompilasi daftar-daftar ini tampaknya sangat bergantung pada pembobolan dan peretasan data sebelumnya. Sebagai contoh, beberapa informasi diyakini berasal dari peretasan di Atid College pada bulan Mei, yang dikaitkan dengan Iran. Data lain mungkin berasal dari peretasan perusahaan asuransi Shirbit pada tahun 2020, yang juga terkait dengan Iran.
Ben Am berkomentar lebih lanjut tentang sifat operasi ini, menggambarkannya sebagai kasus “peretasan persepsi.” Dia menjelaskan bahwa ini melibatkan “memperkuat peretasan dan kebocoran berskala kecil atau operasi lain untuk membuatnya tampak lebih berdampak daripada yang sebenarnya untuk menanamkan rasa takut pada populasi target.”
Taktik ini berfungsi untuk menciptakan dampak psikologis di luar pelanggaran data yang sebenarnya, yang berpotensi memengaruhi moral dan kepercayaan di dalam militer Israel dan masyarakat yang lebih luas.
Dalam isu terkait, Mahkamah Internasional memutuskan pekan lalu bahwa pendudukan militer Israel di Gaza dan Tepi Barat adalah ilegal. Di bawah hukum internasional, warga Palestina memiliki hak untuk melawan pendudukan militer dengan segala cara yang tersedia, “termasuk perjuangan bersenjata”.*