Hotel Protes Tagihan Royalti Meski Tidak Putar Musik
Sebuah hotel di Serpong, Tangerang Selatan, mengalami kejadian yang mengejutkan. Pranaya Boutique Hotel menerima surat dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menyatakan bahwa pihak hotel memutar musik tanpa lisensi. Padahal, mereka tidak pernah memainkan musik melalui perangkat elektronik.
Pihak hotel menjelaskan bahwa suara yang terdengar berasal dari burung peliharaan mereka yang berkicau di area publik. Konsep hotel ini memang berfokus pada alam, sehingga tidak ada penggunaan rekaman musik atau lagu. Namun, LMKN justru menuding hotel tersebut melanggar aturan hak cipta.
General Manager Pranaya Boutique Hotel, Bustamar Koto, menyampaikan bahwa pihaknya tidak pernah menerima sosialisasi dari LMKN terkait aturan tersebut. Ia menilai tuduhan dalam surat itu tidak sesuai dengan fakta di lapangan. “Suratnya memang disebut perkenalan, tapi di bawahnya ada pernyataan yang menyebut kami memperdengarkan musik dan lagu. Padahal kami tidak memutar musik sama sekali,” ujarnya.
Bustamar menegaskan bahwa suara yang terdengar bukan berasal dari rekaman musik, melainkan dari burung hidup yang dipelihara di hotel. Hal ini membuatnya merasa bahwa LMKN seharusnya melakukan sosialisasi, memberikan panduan, serta inspeksi lapangan sebelum mengirimkan surat tudingan.
Ia juga meminta LMKN melampirkan bukti tudingan tersebut. Menurutnya, interpretasi Undang-Undang Hak Cipta yang tidak jelas dapat menjerat pelaku usaha yang sebenarnya tidak memanfaatkan musik secara komersial. “Ini berbahaya jadi harus ada interpretasi yang adil, yang benar, yang clear tentang apa yang disebut dengan penggunaan musik dan lagu di area publik,” katanya.
Menanggapi hal ini, pelaksana Harian LMKN, Tubagus Imamudin, membenarkan bahwa surat tersebut dikirim oleh pihaknya. Namun, ia menilai tanggapan Pranaya Boutique Hotel berlebihan karena tidak menggunakan hak jawab, melainkan memviralkan surat tersebut. “Seharusnya mereka, walaupun secara administratifnya ada surat masuk, ya minimal menghubungi kami bahwa tidak menggunakannya. Harusnya itu sudah selesai,” tambahnya.
Sebelumnya, Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, menegaskan bahwa rekaman suara apapun, baik musik maupun suara alam, tetap masuk ruang lingkup hak terkait jika berbentuk rekaman fonogram. Artinya, meskipun suara tersebut bukan musik ciptaan, jika diputar dalam bentuk rekaman, tetap wajib membayar royalti sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Namun, dalam penjelasan ini, yang dimaksud dengan kewajiban royalti adalah ketika pelaku usaha memutar rekaman suara. Jika suara berasal langsung dari alam atau hewan yang ada di tempat, maka tidak bisa dikenakan royalti.
Kasus ini mencerminkan perlunya kepastian hukum agar regulasi hak cipta berjalan seimbang, yakni melindungi hak pencipta dan produser, sekaligus memberi kepastian bagi pelaku usaha yang mengusung konsep berbeda, seperti menghadirkan suara alam secara langsung.
Tanggapan Pemerintah Terkait Royalti Musik
Sementara itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa kewajiban membayar royalti musik yang diputar di tempat komersial akan dibebankan kepada pemilik atau pengelola usaha. Oleh karenanya, pengunjung atau masyarakat tidak perlu khawatir akan dikenakan royalti musik saat mendatangi tempat komersial tersebut.
“Ini yang ribut pengunjung. Pemilik tempat usahanya yang kena royalti, enggak apa-apa. Kok pengunjungnya yang ribut, padahal enggak kena royalti?” ujarnya beberapa waktu lalu di Kantor Smesco Indonesia, Jakarta.
Pernyataan ini merespons kritikan dari masyarakat yang merasa keberatan setelah kebijakan penarikan royalti ini diperkuat. Kendati telah mendapatkan banyak kritikan, Supratman menerimanya karena merupakan bagian dari konsekuensi penerapan kebijakan baru.
“Saya terima konsekuensinya. Itu sebagai bentuk pertanggungjawaban. Saya tidak menghindar dari risiko itu. Sekali lagi, kita akan terbuka untuk semuanya,” ucapnya.
Supratman juga mengakui, selama ini pihaknya lalai mengawasi pengelolaan royalti sehingga membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengelola royalti musik, yakni Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), menjadi turun.
“Mulai dari pencipta, pemegang hak cipta, dan pihak terkait. Menyangkut soal bagaimana cara mengumpulkannya, dan juga bagaimana mendistribusikannya, itu menjadi pekerjaan sekarang yang harus dilakukan oleh komisioner yang baru,” jelasnya.
Oleh karenanya, saat ini pihaknya akan berupaya mengembalikan dan membangun kepercayaan masyarakat tersebut yang telah rontok.
Royalti Musik Bukan Pungutan Pajak
Pada lain kesempatan, Supratman mengatakan, royalti musik bukanlah pungutan pajak atau cukai yang akan masuk ke penerimaan negara. Royalti musik yang telah dikumpulkan LMKN akan diberikan kepada pencipta, penyanyi, dan pemilik lagu atas karyanya.
“Seratus persen kalau ada royalti musik yang terkumpul, itu bukan untuk negara dan yang pungut juga bukan negara. Bukan Kementerian Hukum, bukan Kementerian Keuangan,” tegas Supratman, Selasa (5/8/2025).
Dia menjelaskan, LMKN merupakan organisasi non-pemerintah meski pembentukannya didasari oleh Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM sebagai amanat UU Hak Cipta. LMKN berisikan orang-orang dari komunitas pencipta musik, penyanyi, dan musisi, sehingga pihak yang memungut, mengatur, hingga menyalurkan royalti musik merupakan orang dari komunitas tersebut.
Oleh karenanya, Supratman menyatakan, dirinya siap untuk langsung memberhentikan oknum dari Kemenkum yang ikut campur atau cawe-cawe soal royalti musik.