Hubungan Ulama Asy’ari dengan Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah menghormati dan memuji Syeikh Alauddin Al-Baji dan Syamsuddin Al-Ashfahani dari kalangan Asya’irah, begitu juga sebaliknya hubungan keduanya

Oleh:  Mahmud Budi Setiawan  

InfoMalangRaya.com | BEBERAPA hari ini ada perdebatan antara Ibnu Taimiyah dengan ulama Asy’ari. Beberapa  pengikut Asya’irah menyerang Syeikh Ibnu Taimiyah, sebaliknya kubu Syeikh Ibnu Taimiyah menyerang kubu ulama Asy’ari.

Masing-masing pihak yang fanatik, tak segan-segan mencibir, mencela bahkan merendahkan ulama yang tak sesuai dengan manhajnya.

Perdebatan dua kubu ini semakin hari semakin tidak sehat.  Kadang keduanya berbanding terbalik dengan perilaku dua ulama tersebut, baik ulama Asyairah atau Syeikh Ibnu Taimiyah.

Padahal hubungan keduanya sangat indah, saling menghormati, saling memuji, meski ada beberapa perbedaan tajam.

Sebagai contoh ketika Syeikh Ibu Taimiyah bertemu dengan ulama Asy’ari, Syeikh Alauddin Al-Baji. Beliau adalah ulama seangkatan dengan Imam Nawawi,  dan dikenal figur yang paling pakar dalam Madzhab Asy’ari, yakni dalam ilmu kalam.  

Kedua ulama ini bertemu dalam sebuah majelis debat.

: «وَلَمَّا رَآهُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ عَظَّمَهُ وَلَمْ يَجْرِ بَيْنَ يَدَيْهِ بِلَفْظَةٍ فَأَخَذَ الشَّيْخُ عَلَاءُ الدِّينِ يَقُولُ: تَكَلَّمْ، نَبْحَثْ مَعَكَ، وَابْنُ تَيْمِيَّةَ يَقُولُ: مِثْلِي لِمَاذَا يَتَكَلَّمُ بَيْنَ يَدَيْكَ؟ أَنَا وَظِيفَتِي الاسْتِفَادَةُ مِنْكَ.»

“Ketika Ibn Taimiyah melihatnya, dia menghormatinya dan tidak berbicara di depannya dengan sepatah kata pun. Maka Syeikh Alauddin berkata: ‘Berbicaralah! Kita akan berdiskusi denganmu.’ Ibn Taimiyah menjawab: ‘Kenapa orang seperti saya berbicara di depan Anda? Tugas saya adalah belajar (mengambil faedah ilmu) darimu.’” (Sumber: Ṭabaqāt al-Syāfi’iyyah al-Kubrā li as-Subkī (10/342).

Cerita ini menggambarkan betapa Ibnu Taimiyah sangat rendah hati dan menghormati Syeikh Alauddin Al-Baji.

Demikian juga ketika bertemu dengan ulama Asyairah lain yang bernama Syeikh Syamsuddin Al-Ashfahani. Sebagaimana yang terdapat dalam data berikut:

وَقَدِمَ الشَّيْخُ الأَصْفَهَانِيُّ دِمَشْقَ وَاسْتَوْطَنَهَا فَارِغًا مِن تِلْكَ الْبِلَادِ، عَلَى عِظَمِ مَكَانَتِهِ فِيهَا، وَامْتِلَاءِ صُدُورِ أَهْلِهَا بِتَعْظِيمِهِ، وَأَقَامَ وَالطَّلَبَةُ تَتَسَامَعُ بِهِ وَتَتَوَاصَلُ إِلَيْهِ، وَتَأْتِيهِ مِنْ كُلِّ جِهَةٍ وَمَكَانٍ، وَكَانَ شَيْخُنَا شَيْخُ الإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ يُثْنِي عَلَيْهِ ‌أَحْسَنَ ‌الثَّنَاءِ، وَيَصِفُهُ بِالْفَضْلِ الْوَافِرِ وَالْعُلُومِ الْجَمَّةِ. قَالَ لِي: مَا قَدِمَ الْبِلادَ عَلَيْنَا مِثْلُ الشَّيْخِ شَمْسِ الدِّينِ الأَصْفَهَانِيِّ.

“Dan Syeikh Al-Ashfahani tiba di Damaskus dan menetap di sana, terpisah dari negeri-negeri tersebut, dengan kedudukan yang agung di dalamnya, dan hati orang-orang di sana penuh dengan penghormatan kepadanya. Beliau tinggal di sana, dan para pelajar mendengarnya dan datang kepadanya dari segala penjuru dan tempat. Dan Syeikhul Islam Ibn Taimiyah memujinya dengan pujian yang terbaik, dan menggambarkannya dengan keutamaan yang melimpah dan ilmu yang banyak. Dia berkata kepadaku: “Tidak ada yang datang kepada kami ke negeri ini seperti Syeikh Syamsuddin Al-Ashfahani.” (Sumber: Ahmad bin Yahya Syihabuddin, Masālik al-Abṣār fī Mamālik al-Amṣār, 9/232).

Perhatikan kisah ini! Meski Ibnu Taimiyah sering berbeda pendapat dengan pandangan ulama Asya’irah, tapi ketika berjumpa, beliau secara muamalah (interaksi sosial) memberi penghormatan.

Perhatikan bagaimana Syeikh Ibnu Taimiyah menghormati Syeikh Syamsuddin Al-Ashfahani yang merupakan ulama besar dari kalangan Asya’irah.

Lebih dari itu,  diceritakan, pada suatu hari, Al-Ashfahani, menerima kunjungan dari Ibn Taimiyah. Al-Ashfahani menyambutnya dengan penuh penghormatan dan menawarkan tempat duduknya, namun Ibnu Taimiyah menolak.

Pada saat itu, sedang dikaji bab tentang “Mengusap Khuffain dari Kitab Al-‘Umdah. Syeikh Ibn Taimiyah, yang saat itu berkunjung, berkata kepada Al-Ashfahani:

ما نتكلّم وأنت حاضر

“Kami tidak akan berbicara jika Anda hadir.” Mendengar hal tersebut, Al-Ashfahani menjawab:

الله، الله يا مولانا، مولانا شيخ السنة، وإمام العلماء

“Allah, Allah, wahai Tuan kami, Tuan kami adalah Syeikh Sunnah dan Imam para ulama.”

Lihat diksi keduanya, saling menghormati bahkan memberi sanjungan secara proporsional.

Pujian ulama Asyairah pada Ibnu Taimiyah

Meski ada perbedaan antara ulama Asyairah, namun hubungan keduanya tidak saling merendahkan apalagi menafikkan. Ibnu Taimiyah digelari oleh Imam Syamsuddin Adz-Dzahabi sebagai “Syaikhul Islam, Bahar Ilmu, dan Fardu Zaman,” ahli dalam hadis, jarh wa ta’dil, serta hafalan matan, bahkan disebut bahwa “setiap hadits yang tidak diketahui olehnya, maka itu bukan hadis.”

Sementara itu, Ibnu Sayyid An-Nas mengakui penguasaan Ibnu Taimiyah dalam tafsir, fikih, hadits, dan perbandingan agama, seraya mengatakan, “Tidak ada yang seperti dirinya, dan ia tidak pernah melihat orang seperti dirinya sendiri.”

Sedangkan Taqiyuddin As-Subki, meski dikenal sebagai lawan ilmiah, mengakui kehebatan Ibnu Taimiyah dalam ilmu syar’i, kecerdasan luar biasa, kezuhudan, dan keteguhan membela kebenaran.

Demikian juga Ibnu Al-Hariri Al-Hanafi menyebut Ibnu Taimiyah sebagai satu-satunya yang pantas digelari “Syaikhul Islam” dalam 300 tahun terakhir.

Adapun Kamaluddin Az-Zamalkani menegaskan bahwa tidak ada yang lebih hafal darinya dalam 500 tahun, menyebutnya pemimpin ulama, penegak sunnah, penghancur bid’ah, dan hujjah Allah atas umat.

Penting juga untuk disebutkan, Ibnu Daqiq Al-‘Id mengagumi kedalaman ilmu Ibnu Taimiyah, dengan mengatakan bahwa: “Semua ilmu seolah berada di depan matanya.”

Ada juga ulama bernama Ibnu Al-Wardi memuji Ibnu Taimiyah sebagai pusat keilmuan, seperti “matahari dibandingkan bulan.”

Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi menyatakan tidak ada yang lebih alim dalam Al-Quran dan Sunnah dibandingkan dirinya.

Ibrahim Ar-Iraqi menyebutnya sebagai sosok yang, jika umurnya panjang, ilmunya akan memenuhi dunia. Sedangkan Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menegaskan bahwa keilmuan Ibnu Taimiyah sejelas matahari, dan gelarnya sebagai Syaikhul Islam terus dikenal hingga kini.

Demikian juga, Jalaluddin As-Suyuthi memuji kecerdasannya yang luar biasa dan menyebutnya sebagai “Nadirah al-‘Ashr” (keajaiban zaman). Ahmad Waliyullah Ad-Dahlawi menganggapnya sosok yang sulit ditandingi dalam analisis dan penjelasan.

Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menyamakannya dengan Ibnu Hazm, menyebutnya layak menjadi mujtahid. Malik bin Nabi Filusuf Al-Jazair, memuji warisan pemikiran Ibnu Taimiyah sebagai sumber inspirasi gerakan reformasi yang terus relevan hingga kini.

***

Bagaimana sikap ulama Asyairah lain terhadap Ibnu Taimiyah? Ada yang menolak dan ada yang tetap obyektif mengakui keulamaan beliau.

Yang menolak seperti Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan yang setuju dengannya. Ada juga yang tetap mengakui keulamaannya.

Sebagai contoh Imam Suyuthi yang bermdzhab Syafi’i dan berakidah Asy’ari ketika menyebut biografi Ibnu Taimiyah, beliau mencatat dengan pujian kepadanya:

الشَّيْخ الإِمَام الْعَلامَة الْحَافِظ النَّاقِد الْفَقِيه الْمُجْتَهد ‌الْمُفَسّر ‌البارع ‌شيخ ‌الْإِسْلَام علم الزهاد نادرة الْعَصْر تَقِيّ الدّين أَبُو الْعَبَّاس أَحْمد بن الْمُفْتِي شهَاب الدّين عبد الْحَلِيم ابْن الإِمَام الْمُجْتَهد شيخ الْإِسْلَام مجد الدّين عبد السَّلَام بن عبد الله بن أبي الْقَاسِم الْحَرَّانِي أحد الْأَعْلَام ولد فِي ربيع الأول سنة إِحْدَى وَسِتِّينَ وسِتمِائَة وَسمع ابْن أبي الْيُسْر وَابْن عبد الدَّائِم وعدة وعني بِالْحَدِيثِ وَخرج وانتقى وبرع فِي الرِّجَال وَعلل الحَدِيث وفقهه وَفِي عُلُوم الْإِسْلَام وَعلم الْكَلَام وَغير ذَلِك وَكَانَ من بحور الْعلم وَمن الأذكياء الْمَعْدُودين والزهاد والأفراد ألف ثَلَاثمِائَة مجلدة وامتحن وأوذي مرَارًا مَاتَ فِي الْعشْرين من ذِي الْقعدَة سنة ثَمَان وَعشْرين وَسَبْعمائة

“Ibn Taimiyah, sang Syeikh, Imam, Al-‘Allamah, Al-Hafizh, Al-Naqid, Al-Faqih, Al-Mujtahid, Al-Mufassir, Al-Bari’, Syeikh Islam, teladan para zuhud, keajaiban zaman, Taqiuddin Abu Al-‘Abbas Ahmad bin Al-Mufti Syihabuddin Abdul Halim bin Imam Mujtahid Sheikh Islam Majduddin Abdul Salam bin Abdullah bin Abi Al-Qasim Al-Harrani, salah satu tokoh besar, lahir di bulan Rabiul Awal tahun 661 Hijriyah. Ia mendengar hadits dari Ibnu Abi Al-Yusr, Ibnu Abdul Daim, dan beberapa lainnya. Ia berkecimpung dalam hadits, menulis, menyeleksi, menguasai ilmu rijal, mengkritisi hadits, memahaminya, dan dalam ilmu-ilmu Islam serta ilmu kalam dan lainnya. Ia adalah lautan ilmu, salah satu dari orang-orang yang sangat cerdas, zuhud, dan istimewa. Ia menulis tiga ratus jilid buku. Ia diuji dan disakiti berkali-kali, dan meninggal pada tanggal 20 Dzulqa’dah tahun 728 Hijriyah.” (Sumber: Ṭabaqāt al-Ḥuffāẓ li-Suyūṭī, hlm. 520).

Di tulisan itu, bahkan beliau menyebut kata Syaikhul Islam untuk Ibnu Taimiyah. Dengan kisah-kisah ini, nampaknya kita perlu berhati-hati memandang perbedaan pandangan para ulama.

Maka, cintai ulama berdasarkan ilmu, bukan fanatisme buta dan hawa nafsu. Masing-masing kelompok ada kekurangan tapi ada juga kelebihan.

Amat disayangkan tenaga dan fikiran umat hanya dihabiskan untuk konflik yang sudah berusia berabad-abad dan terus beruulang. Sedangkan para ulama itu sendiri mereka saling memiliki respek dan saling hormat satu sama lain.*

Penulis aktivis Muhammadiyah, alumni Al-Azhar Mesir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *