Infomalangraya.com –
PENGURUS PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Timur Tengah Iqbal Mochtar meminta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk membeberkan data valid terkait ada 77 ribu dokter yang melamar Surat Tanda Registrasi (STR) setiap tahun.
Menurut Iqbal, pernyataan yang dilontarkan Menkes tidak berdasar. “Darimana Menkes memperoleh informasi setiap tahun terdapat 77 ribu dokter melamar STR?” cetus dokter Iqbal dalam keterangan resmi, Sabtu (1/4).
Iqbal mengatakan, data Kementerian Kesehatan sendiri menyebutkan bahwa jumlah dokter yang memiliki STR dan praktik saat ini berkisar 140 ribu. Sedangkan data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menyebutkan sekitar 150 ribu.
Baca juga : Sebut Biaya Urus STR/SIP Mencapai Rp6 Juta, Menkes Disomasi
IDI menegaskan, pembuatan STR tidak setiap tahun, tapi setiap 5 tahun sekali.
“Pak Menkes kan tahu bahwa STR itu dibuat setiap 5 tahun? Kalau menggunakan narasi bahwa ada 77 ribu dokter meminta STR per tahun, apakah ini berarti setiap dokter mengurus STR setiap 2 tahun? Ini tidak masuk akal, karena STR dibuat setiap 5 tahun,” imbuhnya lagi.
Dia juga menyayangkan pernyataan Menkes soal biaya penerbitan STR berkisar Rp 6 juta per dokter. Menurut dia Menkes perlu melakukan komunikasi objektif dengan IDI dan KKI. Iqbal meyakini dokter yang membayar Rp6 juta setiap penerbitan STR terjadi hanya di beberapa kasus atau kasuistik.
“Kalaupun misalnya ada satu atau beberapa kasus, maka mungkin ada yang melatarbelakanginya. Misalnya sang dokter tidak membayar iuran selama 5 tahun atau menggunakan pihak ketiga dalam pengurusan STR/SIP. Silakan Pak Menkes konfirmasi ke beberapa Kepala Dinas, IDI, Kolegium dan KKI untuk membuktikan bila statemen Pak Menkes sangat tidak tepat,” tegas dia.
Singgung biaya obat
Selain itu, Iqbal juga mengkritisi pernyataan Menkes terkait mahalnya biaya obat dan biaya pendidikan dokter untuk memperoleh STR.
“Menurut Bapak, dokter harus membayar mahal untuk Satuan Kredit Profesi (SKP). Kalau tidak membayar, maka SKP nya akan dibayari orang lain dan harga obatpun jadi mahal karena biaya sales dan marketing jadi naik karena membiayai SKP dokter. Sebagai seorang Menteri, mestinya Bapak paham bahwa mahalnya harga obat di Indonesia disebabkan oleh faktor multi-kompleks. Faktor yang paling dominan adalah akibat biaya riset dan pengembangan obat, biaya produksi, biaya patens, perubahan harga baku, pemasaran dan regulasi pemeritah termasuk pajak,” jelas Iqbal.
Sebagai seorang pejabat dan pimpinan lembaga pemerintahan, Iqbal berharap Menkes lebih bijak dan santun dalam mengeluarkan statemen. Seharusnya, lanjut dia, informasi yang dikeluarkan oleh pejabat mesti akurat, valid dan imparsial. Bukan hanya didasarkan oleh data-data yang tidak komprehensif atau informasi sepihak.
“Sebagai seorang pimpinan lembaga pemerintahan, Bapak mesti membangun kolaborasi yang kondusif dengan semua elemen kesehatan yang ada dinegeri ini. Bukan justru mengeluarkan statemen-statemen yang berpotensi menimbulkan keriuhan dan perpecahan pada kelompok profesi atau meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap dokter Indonesia yang telah berjuang dan membangun negeri dengan elemen bangsa lain selama lebih tujuh dekade,” tandasnya (Z-4)